To Be Intelectual Emotional and Spiritual Integrity

Sebuah Impian untuk mambangun lembaga pendidikan yang mampu mensinergikan antara potensi atau kecerdasan intelaktual, emosi dan spiritual yang pada akhirnya akan terbangun umat yang terbaik (khairu ummah)

Jumat, 10 Juni 2011

BANI UMAYYAH: POLITIK DAN INTELEKTUAL oleh Dika Setiawan

A. Pendahuluan

Telah dipahami bersama bahwa naiknya khalifah bani umayyah menjadi khalifah melalui sebuah tahkim (perjanjian perdamain) yang dilakukan oleh pihak Ali dengan wakilnya Abu musa al Asy’ari dengan pihak Mu’awiyah yang diwakili oleh Amr bin ‘Ash. Dengan tahkim ini pihak Ali dirugikan dan pihak Mu’awiyah di untungkan, sehingga bisa kerkuasa menjadi khalifah.[i] masa kekuasaan bani umayyah berlangsung kurang lebih selama 91[ii] atau 90 tahun[iii] dan dipimpin oleh 14 orang khalifah.

Sebutan bani umayyah berasal dari nama Umayyah bin ‘Abdi Syam bin Abdi Manaf, salah seorang pemimpin suku Quraisy pada zaman jahiliah. bani umayyah baru masuk Islam setelah Nabi Muhammad saw. berhasil menaklukan kota mekah. sepeninggal Rasulullah, bani umayyah sesungguhnya telah menginginkan jabatan pengganti Rasul (khalifah), tetapi mereka belum berani menampakan cita-citanya itu pada masa Abu Bakar dan Umar. baru setelah umar meninggal, yang penggantinya diserahkan pada hasil musyawarah 6 orang sahabat, bani umayyah menyokong pencalonan Usman secara terang-terangan sehingga Usman terpilih. sejak saat itu mulailah bani umayyah meletakan dasar-dasar untuk menegakan khalifah umayyah. pada masa pemerintahan Usman inilah Mu’awiyah mencurahkan segala tenaganya untuk memperkuat dirinya, dan menyiapkan daerah Syam sebagai pusat kekuasaanya dikemudian hari.[iv]

Alasan inilah yang membuat bani umayyah pada waktu khalifah Ali, menuntut supaya mengungkap dalang dibalik terbunuhnya Usman. akan tetapi Ali dianggap tidak menghiraukan tuntutan bani umayyah, sehingga bani umayyah menuduh bahwa dibalik terbunuhnya Usman karena supaya Ali bisa menjadi Khalifah. sehinnga ketiaka Ali berkuasa bani umayyah menempatkan dirinya sebagai golongan oposisi yang hendak menurunkan kekhalifahan Ali karena kecewa terhadap tuntutan yang tidak direalisasikan, sehingga padata tahun 657 M terjadilah perang siffin antara pasukan Ali dan muawiyah. yang pada saat itulah dengan kepicikan atau kecerdikan dari orang-orang bani umayyah bisa menggulingkan pemerintahan Ali. sebelum bani umayyah resmi menjadi khalifah terlebih dahulu terjadi pembunuhan terhadap Ali yang dibunuh oleh orang khwarij pada tahun 660 M.

B. Pembahasan

1. Sistem Politik

Memasuki masa kekuasaan Mu’awiyyah (661 M) yang menjadi awal kekuasaan bani Umayyah ini, sistem pemerintahan Islam yang dulunya bersifat demokrasi berubah menjadi monarki heredetis (kerajaan turun temurun). Suksesi kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, yaitu Yazid. Beliau menjadikan azas nepotisme sebagai dasar pengangkatan khalifah. Hal ini menunjukkan bahwa Muawiyah bermaksud mencontoh monarchi di Persia dan Bizantium, yakni penerapan garis-garis kepemimpinan.[v]

Perintah ini tentu saja memberikan sinyal awal bahwa kesetiaan terhadap Yazid merupakan bentuk pengokohan terhadap sistem pemerintahan yang turun temurun telah coba dibangun oleh Mu’awiyah. Tidak ada lagi suksesi kepemimpinan berdasarkan asas musyawarah (syuro) dalam menentukan seorang pemimpin baru. Mu’awiyah telah merubah model kekuasaan dengan model kerajaan yang membenarkan regerisasi kekuasaan dengan cara memberikan kepada putera mahkota. Orang-orang yang berada di luar garis keturunan Mu’awiyah, secara substansial tidak memiliki ruang dan kesempatan yang sama untuk memimpin pemerintah Umat Islam, karena sistem dinasti hanya membenarkan satu kebenaran bahwa suksesi hanya bisa diberikan kepada keturunan dalam dinasti tersebut.

Tradisi bentuk khilafah konfederasi yang dicanangkan Rasul pada tahun 622 M (awal periode Madinah), terus berlanjut hingga masa Dinasti Umayyah sejak tahun 661 M. Bedanya, Rasul menerapkan bentuk konfederasi kabilah, sedangkan Dinasti Umayyah menerapkan konfederasi propinsi. Untuk menangani banyaknya propinsi yang ada, maka khalifah ketika itu, Muawiyah bin Abu Sofyan, mencoba menggabung beberapa wilayah menjadi satu propinsi. Wilayah-wilayah ini terus berkembang sejalan dengan keberhasilan program futuhat. Setiap gubernur memilih amir atas jajahan yang berada dalam kekuasaannya, dan para amir tersebut bertanggung jawab langsung kepada khalifah. Konsekuensinya, para amir berfungsi sebagai khalifah di daerah.

Nilai politis kebijakan ini adalah upaya sentralisasi wilayah kekuasaan, mengingat potensi daerah-daerah tersebut dalam menopang jalannya pemerintahan, baik dari sudut pandang ekonomi, maupun keamanan dan pertahanan nasional. Pada masa Hisyam bin Abdul Malik, Gubernur mempunyai wewenang penuh dalam hal administrasi politik dan militer dalam propinsinya, namun penghasilan daerah ditangani oleh pejabat tertentu (sahib al-kharaj) yang mempunyai tanggung jawab langsung pada khalifah.

Pada masa pemerintahan Muawiyah Konsolidasi Internal mulai dilakukan. Tujuannya adalah untuk memperkokoh barisan dalam rangka pertahanan dan keamanan dalam negeri, antisipasi atas setiap gerakan pemberontak, dan untuk memperlancar program futuhat. Ada lima diwan (lembaga) yang menopang suksesnya konsolidasi yang dilakukan, yakni: Diwan al-Jund (Urusan Kemiliteran), Diwan ar-Rasail (Urusan Administrasi dan Surat), Diwan al-Barid (Urusan Pos), Diwan al-Kharaj (Urusan Keuangan), dan Diwan al-Khatam (Urusan Dokumentasi).

Dari segi organisasi militer, pada masa dinasti ini bangsa arab telah mencapai perkembangan yang cukup signifikan. Jumlah tentara ketika pemerintahan berada dibawah kekuasan Muawiyah berjumlah 60.000 orang, dengan anggaran sebesar 60 juta dirham. Setelah penaklukan Bizantium, angkatan perang Umayyah didata dalam sebuah organisasi yang cukup besar. Satu divisi terdiri dari 5 corp, dua corp untuk barisan depan, satu corp untuk barisan tengah, dan dua corp lagi adalah untuk barisan belakang. Organisasi ini masih terus berlangsung hingga akhir pemerintahan Marwan (II) bin Muhammad. Ia menghapus organisasi ini dan mengenalkan susunan tentara yang disebut kurdus. Para tentara dilengkapi dengan senjata canggih pada masa itu, seperti peluru yang digerakkan dengan roket.

Dari segi cara hidup, para khalifah Dinasti Umayyah telah meninggalkan pola dan cara hidup Nabi Muhammad SAW dan Khulafa' Ar-Rasyidun. Mereka menjaga jarak dengan masyarakat, dengan tinggal di istana yang dikelilingi oleh para pengawal. Baitul mal yang selama masa pemerintahan sebelumnya difungsikan sebagai dana swadaya masyarakat yang difungsikan untuk kepentingan rakyat, pada masa Umayyah telah berubah fungsi. Kecuali ketika dinasti Umayyah di bawah pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, kas negara adalah milik penguasa dan keluarganya. Rakyat hanya wajib untuk menyetor pajak tanpa mempunyai hak menanyakan penggunaannya. Pada masa ini pajak Negara dialihkan menjadi harta pribadi para kholifah. Pendapatan pajak diperoleh dari, pajak tanah, jizyah, zakat, cukai dan pajak pembelian, upeti yang harus dibayar menurut perjanjian, seperlima ghonimah, fai’, impor tambahan hasil bumi, hadiah festifal, dan upeti anak dari bangsa barbar[vi] .

Perubahan sistem politik menjadi perubahan yang paling menonjol pada masa Bani Umayyah diantaranya adalah:

a. Politik dalam Negeri

1) Pemindahan pusat pemerintahan dari Madinah ke Damaskus. Keputusan ini berdasarkan pada pertimbangan politis dan keamanan. Karena letaknya jauh dari Kufah, pusat kaum Syi’ah (pendukung Ali), dan juga jauh dari Hijaz, tempat tinggal Bani Hasyim dan Bani Umayyah, sehingga bisa terhindar dari konflik yang lebih tajam antar dua bani tersebut dalam memperebutkan kekuasaan.

2) Pembentukan lembaga yang sama sekali baru atau pengembangan dari Khalifah ar rasyidin, untuk memenuhi tuntutan perkembangan administrasi dan wilayah kenegaraan yang semakin komplek.

Dalam menjalankan pemerintahannya Khalifah Bani Umayyah dibantu oleh beberapa al Kuttab (sekretaris) yang meliputi :

1. Katib ar Rasaail yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan administrasi dan surat-menyurat dengan pembesar-pembesar setempat.

2. Katib al Kharraj yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan penerimaan dan pengeluaran negara.

3. Katib al Jund yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan hal-hal yang berkaitan dengan ketentaraan.

4. Katib asy Syurthahk yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan pemeliharaan keamanan dan ketertiban umum.

5. Katib al-Qaadhi yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan tertib hukum melalui bedan-badan peradilan dan hakim setempat.

b. Politik Luar Negeri

Politik luar negeri Bani Umayyah adalah politik ekspansi yaitu melakukan perluasan daerah kekuasaan ke negara–negara yang belum tunduk pada kerajaan Bani Umayyah. Pada zaman Khalifah ar-Rasyidin wilayah Islam sudah demikian luas, tetapi perluasan tersebut belum mencapai tapal batas yang tetap, sebab di sana-sini masih selalu terjadi pertikaian dan kontak-kontak pertempuran di daerah perbatasan.

Daerah-daerah yang telah dikuasai oleh Islam masih tetap menjadi sasaran penyerbuan pihak-pihakdi luar Islam, dari belakang garis perebutan tersebut. Bahkan musuh diluar wilayah Islam telah berhasil merampas beberapa wilayah kekuatan Islam ketika terjadi perpecahan-perpecahan dan permberontakan-pemberontakan dalam negeri kaum muslimin.

c. Perluasan Wilayah

Di zaman Muawiyah, Tunisia dapat ditaklukkan. Di sebelah timur, Muawiyah dapat menguasai daerah Khurasan sampai kesungai Oxus dan Afganistan sampai ke Kabul. Angkatan lautnya melakukan serangan-serangan ke Ibu Kota Bizantium, Konstantinopel. Ekspansi ke timur yang dilakukan Muawiyah kemudian dilanjutkan oleh Khalifah Abd Al-Malik, dia menyeberangi sungai Oxus dan dapat berhasil menundukkan Baikh, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Samarkand. Mayoritas penduduk dikawasan ini kaum Paganis. Pasukan Islam menyerang wilayah Asia Tengah pada tahun 41H / 661M. pada tahun 43H / 663M mereka mampu menaklukkan Salistan dan menaklukkan sebagian wilayah Thakaristan pada tahun 45H / 665M. Mereka sampai kewilayah Quhistan pada tahun 44H / 664M. Abdullah Bin Ziyad tiba dipegunungan Bukhari. Pada tahun 44H / 664M para tentaranya datang ke India dan dapat menguasai Balukhistan, Sind, dan daerah Punjab sampai ke Maitan.
Ekspansi kebarat secara besar-besaran dilanjutkan di zaman Al-Walid Ibn Abd Abdul Malik (705M-714M).

Masa pemerintahan Walid adalah masa ketentraman, kemakmuran dan ketertiban. Umat Islam merasa hidup bahagia, tidak ada pemberontakan dimasa pemerintahanya. Dia memulai kekuasaannya dengan membangun Masjid Jami’ di Damaskus. Masjid Jami’ ini dibangun dengan sebuah arsitektur yang indah, dia juga membangun Kubbatu Sharkah dan memperluas masjid Nabawi, disamping itu juga melakukan pembangunan fisik dalam skala besar.
Pada masa pemerintahannya terjadi penaklukan yang demikian luas, penaklukan ini dimulai dari Afrika utara menuju wilayah barat daya, benua eropa yaitu pada tahun 711M.

Setelah Al Jazair dan Maroko dapat ditaklukkan, Tariq Bin Ziyad pemimpin pasukan Islam dengan pasukannya menyebrangi selat yang memisahkan antara Maroko dengan Benua Eropa dan mendarat disuatu tempat yang sekarang dikenal nama Bibraltar (Jabal Tariq). Tentara Spanyol dapat dikalahkan, dengan demikian Spanyol menjadi sasaran ekspansi.
Selanjutnya Ibu Kota Spanyol Kordova dengan cepatnya dapat dikuasai, menyusul setelah itu kota-kota lain seperti Sevi’e, Elvira, dan Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah jatuhnya Kordova. Pasukan Islam memperoleh dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa.

Pada masa inilah pemerintah Islam mencapai wilayah yang demikian luas dalam rentang sejarahnya, dia wafat pada tahun 96H / 714M dan memerintah selama 10 tahun.
Di zaman Umar Ibn Ab Al-Aziz masa pemerintahannya diwarnai dengan banyak Reformasi dan perbaikan. Dia banyak menghidupkan dan memperbaiki tanah-tanah yang tidak produktif, menggali sumur-sumur baru dan membangun masjid-masjid. Dia mendistribusikan sedekah dan zakat dengan cara yang benar hingga kemiskinan tidak ada lagi di zamannya. Dimasa pemerintahannya tidak ada lagi orang yang berhak menerima zakat ataupun sedekah. Berkat ketaqwa’an dan kesalehannya, dia dianggap sebagai salah seorang Khulafaur Rasyidin. Penaklukan dimasa pemerintahannya pasukan Islam melakukan penyerangan ke Prancis dengan melewati pegunungan Baranese mereka sampai ke wilayah Septomania dan Profanes, lalu melakukan pengepungan Toulan sebuah wilayah di Prancis. Namun kaum muslimin tidak berhasil mencapai kemenangan yang berarti di Prancis. sangat sedikit terjadi perang dimasa pemerintahan Umar. Dakwah Islam marak dengan menggunakan nasehat yang penuh hikmah sehingga banyak orang masuk Islam, masa pemerintahan Umar Bin Abd Aziz terhitung pendek.

Di zaman Hasyim Ibn Abd Al-Malik (724-743M) pemerintahannya dikenal dengan adanya perbaikan-perbaikan dan menjadikan tanah-tanah produktif. Dia membangun kota Rasyafah dan membereskan tata administrasi. Hasyim dikenal sangat jeli dalam berbagai perkara dan pertumpahan darah. Namun dia dikenal sangat kikir dan pelit. Penaklukan dimasa pemerintahannya yang dipimpin oleh Abdur Rahman Al-Ghafiqi. Ia mulai dengan menyerang Bordeau, Poitiers, dari sana ia mencoba menyerang Tours. Namun dalam peperangan yang terjadi diluar kota Tours, Al-Ghafiqi terbunuh, dan tentaranya mundur kembali ke Prancis pada tahun 114H / 732M. peristiwa penyerangan ini merupakan peristiwa yang sangat membahayakan Eropa.

Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah, baik ditimur maupun barat. Wilayah kekuasaan Islam masa Bani Umayyah ini betul-betul sangat luas. Daerah-daerah itu meliputi Spanyol, Afrika utara, Syiria, Palestina, Jazirah Arab, Irak, sebagian Asia kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan Purkmenia, Ulbek, dan Kilgis di Asia Tengah. Khususnya dibidang Tashri, kemajuan yang diperoleh sedikit sekali, sebab kurangnya dukungan serta bantuan pemerintah (kerajaan) waktu itu. Baru setelah masa khalifah Umar Bin Abd Al-Aziz kemajuan dibidang Tashri mulai meningkat, beliau berusaha mempertahankan perkembangan hadits yang hampir mengecewakan, karena para penghafal hadits sudah meninggal sehingga Umar Bin Abd Al-Aziz berusaha untuk membukukan Hadits.

Pada ini juga, politik telah mengalami kamajuan dan perubahan, sehingga lebih teratur dibandingkan dengan masa sebelumnya, terutama dalam hal Khilafah (kepemimpinan), dibentuknya Al-Kitabah (Sekretariat Negara), Al-Hijabah (Ajudan), Organisasi Keuangan, Organisasi Keahakiman dan Organisasi Tata Usaha Negara. Meskipun keberhasilan banyak dicapai dinasti ini, namun tidak berarti bahwa politik dalam negeri dapat dianggap stabil. Muawiyah tidak mentaati isi perjanjiannya dengan Hasan Ibn Ali ketika dia naik tahta yang menyebutkan bahwa persoalan pergantian pemimpin setelah Muawiyah diserahkan kepada pemilihan umat Islam. Deklarasi pengangkatan anaknya Yazid sebagai putra mahkota menyebabkan munculnya gerakan-gerakan oposisi dikalangan rakyat yang mengakibatkan terjadinya perang saudara beberapa kali dan berkelanjutan .[vii]

2. Intelektual

Kehidupan ilmu dan akal, pada masa Dinasti Bani Umayyah pada umumnya berjalan seperti zaman khalafaur rasyidin, hanya beberapa saja yang mengalami kemajuan, yaitu mulai dirintis jalan ilmu naqli, berupa filsafat dan eksakta. Pada saat itu, sebagaimana masa sebelumnya, ilmu berkembang dalam tiga bidang, yaitu diniyah, tarikh dan filsafat.

Tokoh filsafat yang terkenal (beragama nasrani) adalah Yuhana al Dimaski, yang dikenal dalam Dunia Kristen sebagai Johannes Damacenes, yang kemudian diteruskan oleh muridnya yang bernama Abu Qarra.Kebanyakan masyarakat dan Khalifah Bani Umayyah mencintai syair. Pada masa itu lahir beberapa penyair terbesar, seperti Ghayyats Taghlibi al-Akhtal, Jurair, dan Al-Farazdak.Kota-kota yang menjadi pusat kegiatan ilmu, pada masa Daulah Bani Umayyah, masih seperti zaman khafaur rasyidin, Yaitu kota Damaskus, Kufah, Basrah, Mekkah, Madinah, Mesir dan ditambah lagi dengan pusat-pusat baru, seperti kota Kairawan, Kordoba, Granada dan lain-lainnya.

Ilmu pengetahuan pada masa Daulah Bani Umayyah terbagi menjadi dua yaitu:

1. Al-Adaabul Hadisah (ilmu-ilmu baru), yang terpecah menjadi dua bagian:

a. Al-Ulumul Islamiyah, yaitu ilmu-ilmu al-Qur’an, al-Hadist, al-Fiqh, al-ulumul Lisaniyah, at-Tarikh dan al-Jughrafi.

b. Al-Ulumud Dakhiliyah, yaitu ilmu-ilmu yang diperlukan oleh kemajuan Islam, seperti ilmu thib, fisafat, ilmu pasti dan ilmu-ilmu eksakta lainnya yang disalin dari bahasa Persia dan Romawi.

c. Al-Adaabul Qadimah (ilmu-ilmu lama), yaitu ilmu-ilmu yang telah ada di zaman Jahiliah dan di zaman khalafaur rasyidin, seperti ilmu-ilmu lughah, syair,khitabah dan amsaal.

Pada permulaan masa Daulah Bani Umayyah orang Muslim membutuhkan hukum dan undang-undang, yang bersumber pada al-Qur’an. Oleh karena itu mereka mempunyai minat yang besar terhadap tafsir al-Qur’an. Ahli tafsir pertama dan termashur pada masa tersebut adalah Ibnu Abbas. Beliau menafsirkan al-Qur’an dengan riwayat dan isnaad.[viii]

Dalam bidang pendidikan, nampaknya pendidikan Islam pada masa periode Dinasti Umayyah ini hampir sama dengan pendidikan pada masa Khulafa ar Rasyiddin. Para Khulafa agaknya kurang memperhatikan bidang pendidikan, sehingga perkembangannya pun kurang maksimal. Meskipun demikian, Dalam bidang ini, dinasti Umayyah memberikan andil yang cukup signifikan bagi perkembangan budaya arab pada masa sesudahnya, terutama dalam pengembangan ilmu-ilmu agama islam, sastra, dan filsafat.

Bila dibandingkan dengan masa Khulafa Ar-Rasyidin, pola pendidikan Islam pada periode Dinasti Umayyah telah mengalami perkembangan. Hal ini ditandai dengan semaraknya kegiatan ilmiah di tempat-tempat yang telah disediakan untuk kegiatan tersebut. Materi yang diajarkan bertingkat- tingkat dan bermacam-macam, dimana kurikulumnya telah disesuaikan dengan tingkatannya masing-masing. Metode pengajarannya pun tidak sama. Sehingga melahirkan beberapa pakar ilmuwan dalam berbagai bidang tertentu.

Tempat-tempat yang telah disediakan demi perkembangan pendidikan Islam pada masa Dinasti Umayyah ada tiga yaitu: Kuttab, Mesjid, dan Majelis Sastra. Khuttab merupakan tempat anak-anak belajar menulis dan membaca, menghafal Al Quran serta belajar pokok-pokok ajaran Islam.10 Setelah pelajaran anak-anak di kuttab selesai mereka melanjutkan pendidikan yang dilakukan di mesjid. Pada Dinasti Umayyah ini, pendidikan yang dilaksanakan di mesjid terdiri dari dua tingkat yaitu: tingkat menengah dan tingkat tinggi. Pada tingkat menengah guru belumlah ulama besar sedangkan pada tingkat tinggi gurunya adalah ulama yang dalam ilmunya dan masyhur kealiman serta keahliannya. Sedangkan Majelis sastra, merupakan balai pertemuan untuk membahas masalah kesusasteraan dan juga sebagai tempat berdiskusi mengenai urusan politik yang disiapkan oleh khalifah yang dihiasi dengan hiasan yang indah dan hanya diperuntukkan bagi sastrawan dan ulama terkemuka.

Dibidang Seni Pada masa Daulah Bani Umayyah mengalami perkembangan, terutama seni bahasa, seni suara, seni rupa, dan seni bangunan (Arsitektur). Dalam bidang arsitektur, peranan kholifah daulah Umayyah sangat menonjol. para kholifah sangat menyokong perkembangan seni ini seperti menara yang diperkenalkan oleh Mu’awiyah. Kubah as-sakhra di yerussalem yang dibangun oleh Abdul Malik pada tahun 691, merupakan salah satu contoh hasil karya arsitek muslim zaman permulaan yang paling cantik. Bangunan ini merupakan masjid yang pertama kali ditutup dengan kubah. Pada sekitar abad VII Walid ibn Abdul Malik membangun masjid agung di syiria berdasarkan nama-nama penguasa dinasti umayyah. Dengan demikian, perkembangan arsitektur mencapai puncaknya pada bentuk dan arsitektur masjid-masjid.

Usaha yang tidak kalah pentingnya pada masa Dinasti Umayyah ini dimulainya penterjemahan ilmu-ilmu dari bahasa lain ke dalam Bahasa Arab, seperti yang dilakukan oleh Khalid ibn Yazid ibn Mu'awiyah. Ia merupakan seorang orator dan penyair yang berpikiran tajam. Ia pula orang yang pertama kali menerjemahkan ilmu pengetahuan yunani ke dalam bahasa arab, seperti astronomi, kedokteran dan kimia12. Bahkan, Ia memperoleh gelar kesarjanaan dalam bidang kimia dan kedokteran serta mengarang beberapa buku dalam bidang tersebut. Pada masa Umar ibn Abdul Aziz, sekolah kedokteran yang pada awalnya berada di Alexandria dipindahkan ke Antokia. Di bawah pemerintahannya karya yunani banyak yang diterjemahkan ke dalam bahasa arab.

Pada masa ini pula ilmu tafsir dan tafsir al-qur’an mulai berkembang dengan pesat. Ilmu tafsir memiliki letak yang strategis, disamping karena faktor luasnya kawasan Islam ke beberapa daerah luar Arab yang membawa konsekwensi lemahnya rasa seni sastra arab, juga karena banyaknya yang masuk Islam. Hal ini menyebabkan pencemaran bahasa Al Quran dan makna Al Quran yang digunakan untuk kepentingan golongan tertentu. Pencemaran Al Quran juga disebabkan oleh faktor intervensi yang didasarkan kepada kisah-kisah Israiliyyat. Karena tuntutan untuk mempelajari dan menafsirkan al qur'an itulah, dua jenis ilmu pengetahuna yakni filologi dan leksikografi mendapatkan perhatian oleh banyak orang.

Selain ilmu tafsir, ilmu hadist juga mendapatkan perhatian serius. Khalifah Umar ibn Abdul Aziz yang memerintah hanya dua tahun 717-720 M pernah mengirim surat kepada Abu Bakar ibn Amir bin Ham dan kepada ulama yang lain untuk menuliskan dan mengumpulkan hadist- hadist, namun hingga akhir pemerintahannya hal itu tidak terlaksana. Sungguhpun demikian pemerintahan Umar ibn Aziz telah melahirkan metode pendidikan alternative, yakni para ulama mencari hadist ke berbagai tempat dan orang yang dianggap mengetahuinya yang kemudian dikenal metodeRihlah. Pada masa dinasti inilah, kitab tentang ilmu hadist sudah mulai dikarang oleh para ulama muslim. Beberapa ulama hadist yang terkenal pada masa itu, antara lain : Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidilah bin Abdullah bin Syihab az-Zuhri, Ibnu Abi Malikah (Abdullah bin Abi Malikah at-Tayammami al-Makky, Al-Auza’i Abdurrahman bin Amr, Hasan Basri as-Sya’bi.

Dibidang fiqh secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu aliran ahli al-Ra’y dan aliran al hadist, kelompok aliran pertama ini mengembangkan hukum Islam dengan menggunakan analogi atau Qiyas, sedangkan aliran yang kedua lebih berpegang pada dalil-dalil, bahkan aliran ini tidak akan memberikan fatwa jika tidak ada ayat Al Quran dan hadits yang menerangkannya. Nampaknya disiplin ilmu fiqh menunjukkanperkembangan yang sangat berarti. Periode ini telah melahirkan sejumlah mujtahid fiqh. Terbukti ketika akhir masa Umayyah telah lahir tokoh mazhab yakni Imam Abu Hanifah di Irak dan Imam Malik Ibn Anas di Madinah, sedangkan Imam Syafi’i dan Imam Ahmad ibn Hanbal lahir pada masa Abbasyiyah.[ix]

C. Kesimpulan

Terlepas dari kepicikan yang pernah dilakukan oleh bani umayyah terhadap seterunya yaitu Ali, ternyata pada masa bani umayyah ini dalam bidang politiknya telah menorehkan sejarah baru dengan menjadikan sistim monarkiheredetis sebagai sistem pemerintahan menggantikan sistem demokrasi (syuro), ini pula yang menjadikan salah satu runtuhnya bani umayyah karena konflik yang ditimbulkannya untuk memperebutkan kekuasaan diantara para calon pewaris kekuasaan. pada masa ini juga sejarah Islam ditorehkan dengan berkembang luasnya wilayah kekuasaan yang tidak hanya bermisi pada harta tetapi juga misi penyebaran Islam, selain itu juga pada masa ini ilmu pengetahuan muali berkembang yang kemudian diteruskan oleh bani abbasiyah yang kian gemilang.

Wallahu’alam.......



Referensi

[i] Sejarah Peradaban Islam, editor Siti Maryam, dkk, Yogyakarta: Jurusan SPI Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga, 2002, hal.80.

[ii] Ibid., hal 81.

[iii] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam; Dirasah Ilsamiyah II,Jakarta: PT RajaGrafindo Peasada, 2001, hal. 43.

[iv] Ahmad Syalabi dalam Sejarah Peradaban Islam (2002), hal. 80.

[v] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam; Dirasah Ilsamiyah II,Jakarta: PT RajaGrafindo Peasada, 2001, hal. 42.

[vi] (http://www.scribd.com/doc/22114141/Sejarah-Peradaban-Dan-Pemikiran-Bani-Umayyah-i).

[vii] http://hmjsyariahstainsl3.blogspot.com/2010/04/politik-bani-muawiyah.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar