To Be Intelectual Emotional and Spiritual Integrity

Sebuah Impian untuk mambangun lembaga pendidikan yang mampu mensinergikan antara potensi atau kecerdasan intelaktual, emosi dan spiritual yang pada akhirnya akan terbangun umat yang terbaik (khairu ummah)

Minggu, 12 Juni 2011

Ontologi: Monisme, Dualisme dan Pluralisme

Pendahuluan

Telah kita pahami bersama bahwa filsafat merupakan permulaan atau awal dari sebuah pengembangan ilmu pengetahuan, yang menyelidiki segala sesuatu (all thing) yang mendalam (sampai keakar-akarnya atau radikal) dengan menggunakan akal sampai pada hakikatnya.[1] Menarik apa yang dianalogikan oleh Will Durant (dalam Jujun S Suriasumantri, 1988) untuk mengungkapkan hubunagna antara filsafat dan ilmu, yaitu dikatakan bahwa filsafat diibaratkan pasukan marinir yang merebut pantai untuk pendaratan pasukan infantri. Pasukan infantri sebagai pengetahuan yang diantaranya ilmu. Filsafatlah yang memenangkan tempat berpijak bagi kegiatan keilmuan. Setelah itu ilmulah yang membelah gunung dan merambah hutan menyempurnakan kemenangan ini yaitu pengetahuan yang dapat diandalkan.[2] Apa yang dikatakan Will Durant menandakan bahwa pengetahuan tidak bisa dibangun tanpa landasan filsafat. Sebagai misal, kita tidak bisa mengembangkan ilmu pendidikan sebelum terlebih dahulu dikembangkan filsafat pendidikan, dan dari ilmu pendidikan maka akan berkembang metode pendidikan dan seterusnya.[3]

Perlu diketahui oleh kita, bahwa tiap-tiap ilmu pengetahuan pada dasarnya memiliki komponen yang merupakan tiang penyangga yang disusunnya, yaitu ontologi (menjelaskan mengenai pertanyaan apa), epistemologi (menjelaskan pertanyaan bagaimana) dan aksiologi (menjelaskan pertanyaan untuk apa). Para ahli berbeda-beda dalam merumuskan aspek dalam filsafat tersebut yang menjadi penyangga pengetahuan. Sebut saja Buller yang membaginya dengan Metafisika (teologi, kosmologi dan antropologi), Epistemologi (hakikat, sumber dan metode Pengetahuan) dan aksiologi (etika dan estetika).[4] Harry Hamersma (dalam Surojiyo, 2005) membaginya dengan fungsi pembahasannya yaitu Epistemologi membahas tentang pengetahuan, metafisika umum (ontologi) dan metafisika khusus, membahas tentang keseluruhan kenyataan dan etika serta estetika membahas tentang tindakan.[5] Apa yang telah diungkap oleh para ahli nampak jelas adanya perbedaan dua istilah yaitu ontologi dan metafisika. Pada dasarnya perbedaan ini terjadi hanya pada bidang objek garapannya masing-masing. Ontologi objek garapannya adalah sesuatu yang ada yang berada dialam fisika sedangkan metafisika objek garapannya adalah sesuatu yang ada yang berada di alam sesudah fisika. Yang oleh B. Derfgaauw, disebut, objek telaah ontologi yaitu yang bisa ditangkap panca indra sedang metafisika objek telaahnya adalah yang tidak bisa ditangkap panca indra.[6] Adapun yang menyamakan kedua istilah tersebut karena sama-sama membahas tentang keseluruhan kenyataan (segala sesuatau yang ada), seperti yang diungkap Harry Hamersma diatas. Untuk lebih jelasnya, penulis akan mengemukakannya pada bagian pembahasan, sebelum membahas ontologi itu sendiri dan aliran-alirannya seperti monisme, dualisme dan pluralisme yang menjadi fokus kajian ini.

Pembahasan

Metafisika dan Ontologi

Awalnya pada abad 17 dan 18, Christian Von Wolff (1679-1714) mulai membedakan antara metaphysica generalis dan metaphysica special. Oleh Christian Von Wolff, metaphysica generalis diistilahkan dengan menggunakan ontologi yang membahas asas-asas atau prinsip-prinsip yang seumum-umumnya, sedang metaphysica specialis membahas penerapan asas-asas atau prinsip-prinsip tersebut terhadap bidang-bidang yang khusus. Yang oleh Christian Von Wolff bidang itu dibagi menjadi cosmologia[7], psichologia (dalam Burhanudin Salam [1997] digunakan istilah antropologi)[8] dan theologi[9] . Dapat dikatakan bahwa orang yang pertama kali membuat istilah ontologi adalah Christian Von Wolff.

Secara etimologi, antara ontologi dan metafisika berbeda, ontologi berasal dari ta onta dan logia (Yunani). Ta onta berarti segala sesuatu yang ada dan logia ajaran atau ilmu pengetahuan. Jadi ontologi berarti ajaran mengenai yang ada atau segala sesuatu yang ada. Sedangkan metafisika, berasal dari kata meta yang artinya sesudah dan fisika yaitu nyata. Kata physic disamakan dengan kata nature yang berarti alam. Jadi secara istilah metafisika berarti cabang filsafat yang mempersoalkan tentang hakikat, yang tersimpul dibelakang dunia fenomenal. Metafisika melampui pengalaman objeknya diluar hal yang dapat ditangkap panca indra.[10]

Pengertian Ontologi

Dalam Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, ontologi berasal dari kata yunani ontos (ada) dan logos (ilmu)[11]. Sedangkan inggrisnya ontology. Secara istilah diartikan sebagai cabang filsafat yang membahas sifat-sifat pokok dari keberadaan hal ihwal, misalnya: banyak sedikitnya sesuatu, niscaya-­­tidaknya, tampak-tidaknya, kadar aktualisasi dan dan potensialitasnya, pola perubahan katagori waktunya dan kadar ketergantungannya pada sesuatu yang lain.[12] Sementara itu Surajiyo (2005), mengartikan ontologi dengan, ilmu pengetahuan atau ajaran tentang yang ada.[13] Dari beberapa arti tentang ontologi yang telah disebutkan, sekiranya dapat diambil makna ontologi kaitannya dengan filsafat ilmu, yaitu cabang dari filsafat ilmu[14] yang objek pembahasanya adalah segala sesuatu yang ada yang berada di alam fisik yang bisa diamati atau ditangkap oleh panca indra. Menurut Ali Mudhlofir (dalam Surajiyo, 2005)[15], orang yang ahli dalam masalah ontologi disebut sebagai ontologis.

Sejak dini dalam pikiran orang Barat sudah menunjukan munculnya perenungan ontologis, sebagaimana Thales (625-545 SM) ketika ia merenungkan dan mencari apa sesungguhnya hakikat “yang ada” (being) itu, yang pada akhirnya ia berkesimpulan bahwa asal usul dari segala sesuatu (yang ada) itu adalah air. persoalan dalam keberadaan atau ontologis, ada tiga pandangan yang masing-masing menimbulkan aliran yang berbeda, tiga segi pandangan yaitu:

1. Keberadaan dipandang dari segi jumlah (kuantitas) sehingga melahirkan beberapa aliran sebagai jawabannya yaitu: monisme, dualisme dan pluralisme serta agnotisisme yaitu aliran yang mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat materi dan hakikat rohani dan menolak suatu kenyataan yang mutlak yang bersifat transenden.[16]

2. Keberadaan dipandang dari segi sifat (kualitas), dari segi ini menimbulkan beberapa aliran yaitu spiritualisme dan materialisme.

3. Keberadaan dipandang dari segi proses, kejadian atau perubahan. Segi ini melahirkan aliran mekanisme, teologi (serba Tuhan) dan vatalisme.

Dengan ungkapan yang berbeda Louis O Kattsof (dalam M. Zainiddin, 2003)[17] membagi ontologi menjadi 3 bagian, yaitu: ontologi bersahaja, ontologi kuantitatif dan kualitatif serta ontologi monistik. Dikatakan ontologi bersahaja sebab segala sesuatu dipandang dalam keadaan sewajarnya dan apa adanya. Dikatakan ontologi kuantitatif karena mempertanyakan mengenai tunggal atau jamaknya dan dikatakan ontologi kualitatif karena juga berangkat dari pertanyaan apakah yang merupakan jenis kenyataan itu. Sedangkan ontologi monistik[18] adalah jika dikatakan bahwa kenyataan itu tunggal adanya. Ontologi monistik inilah yang pada gilirannya melahirkan monisme atau idealisme dan materialisme. Dari pembagian persoalan tentang keberadaan (ontologi) yang telah dipaparkan diatas, sekiranya dapat dikompromikan agar memiliki kesamaan bahasa (bukan maksud), yaitu: meliputi ontologi kuantitas, ontologi kualitas dan ontologi proses. Ontologi bersahaja lebih cenderung kepada ontologi proses. Sedang ontologi monistik masuk dalam ontologi kuantitatif dan ontologi kualitatif. Sementara itu juga ada yang menbagi ontologi berdasarkan jenis pertanyaan yang diajukan yaitu: What is being? (apakah yang ada itu) yang dijawab dengan aliran monisme, dualisme dan pluralisme. Where is being? (bagaimanakah yang ada itu). Aliran ini berpendapat bahwa yang ada itu berada di alam ide, adi kodrati, universal, tetap abadi dan abstrak.[19] Aliran ini melahirkan aliran idealisme. dan How is being? (bagaimanakah yang ada itu). Apakah yang ada itu sebagai sesuatu yang tetap abadi atau berubah-ubah? Dalam hal ini Zeno (490-430 SM) berpendapat bahwa sesuatu itu sebenarnya khayalan belaka. Pendapat ini dibantah oleh Bregson dan Russel, yang mengatakan bahwa alam ini dinamis, terus bergerak dan merupakan struktur pristiwa yang mengalir terus secara kreatif.[20] Melahirkan aliran materialisme.

Dari beberapa pembagian ontologi yang telah diuraikan diatas, dalam kajian ini penulis memfokuskan diri pada pembahasan jenis ontologi yang bersifat kuantitatif yang memiliki aliran-aliranya yaitu antara lain: monisme, dualisme dan pluralisme.

Monisme

Monisme (monism) berasal dari kata Yunani yaitu monos (sendiri, tunggal) secara istilah monisme adalah suatu paham yang berpendapat bahwa unsur pokok dari segala sesuatu adalah unsur yang bersifat tunggal/ Esa. Unsur dasariah ini bisa berupa materi, pikiran, Allah, energi dll. Bagi kaum materialis unsur itu adalah materi, sedang bagi kaum idealis unsur itu roh atau ide.[21] Orang yang mula-mula menggunakan terminologi monisme adalah Christian Wolff (1679-1754). Dalam aliran ini tidak dibedakan antara pikiran dan zat. Mereka hanya berbeda dalam gejala disebabkan proses yang berlainan namun mempunyai subtansi yang sama. Ibarat zat dan energi dalam teori relativitas Enstein, energi hanya merupakan bentuk lain dari zat.[22] Atau dengan kata lain bahwa aliran monisme menyatakan bahwa hanya ada satu kenyataan yang fundamental.[23]

Adapun para filsuf yang menjadi tokoh dalam aliran ini antara lain: Thales (625-545 SM), yang menyatakan bahwa kenyataan yang terdalam adalah satu subtansi yaitu air.[24] Pendapat ini yang disimpulkan oleh Aristoteles (384-322 SM) , yang mengatakan bahwa semuanya itu air. Air yang cair itu merupakan pangkal, pokok dan dasar (principle) segala-galanya. Semua barang terjadi dari air dan semuanya kembali kepada air pula.[25] Bahkan bumi yang menjadi tempat tinggal manusia di dunia, sebagaian besar terdiri dari air yang terbentang luas di lautan dan di sungai-sungai. Bahkan dalam diri manusiapun, menurut dr Sagiran, unsur penyusunnya sebagian besar berasal dari air.[26] Tidak heran jika Thales, berkonklusi bahwa segala sesuatu adalah air, karena memang semua mahluk hidup membutuhkan air dan jika tidak ada air maka tidak ada kehidupan. Sementara itu Anaximandros (610-547 SM) menyatakan bahwa prinsip dasar alam haruslah dari jenis yang tak terhitung dan tak terbatas yang disebutnya sebagai apeiron yaitu suatu zat yang tak terhingga dan tak terbatas dan tidak dapat dirupakan dan tidak ada persamaannya dengan suatu apapun. Berbeda dengan gurunya Thales, Anaximandros, menyatakan bahwa dasar alam memang satu akan tetapi prinsip dasar tersebut bukanlah dari jenis benda alam seperti air. Karena menurutnya segala yang tampak (benda) terasa dibatasi oleh lawannya seperti panas dibatasi oleh yang dingin.[27] Aperion yang dimaksud Anaximandros, oleh orang Islam disebutnya sebagai Allah. Jadi bisa dikatakan bahwa pendapat Anaximandros yang mengatakan bahwa terbentuknya alam dari jenis yang tak terbatas dan tak terhitung, dibentuk oleh Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini pula yang dikatakan Ahmad Syadali dan Mudzakir (1997) bahwa yang dimaksud aperion adalah Tuhan.[28] Anaximenes (585-494 SM), menyatakan bahwa barang yang asal itu mestilah satu yang ada dan tampak (yang dapat diindera). Barang yang asal itu yaitu udara. Udara itu adalah yang satu dan tidak terhingga. Karena udara menjadi sebab segala yang hidup. Jika tidak ada udara maka tidak ada yang hidup. Pikiran kearah itu barang kali dipengaruhi oleh gurunya Anaximandros, yang pernah menyatakan bahwa jiwa itu serupa dengan udara. Sebagai kesimpulan ajaranya dikatakan bahwa sebagaimana jiwa kita yang tidak lain dari udara, menyatukan tubuh kita. Demikian udara mengikat dunia ini menjadi satu.[29] Sedang filsuf moderen yang menganut aliran ini adalah B. Spinoza yang berpendapat bahwa hanya ada satu substansi yaitu Tuhan. Dalam hal ini Tuhan diidentikan dengan alam (naturans naturata).[30]

Dualisme

Dualisme (dualism) berasal dari kata Latin yaitu duo (dua). Dualisme adalah ajaran yang menyatakan realitas itu terdiri dari dua substansi yang berlainan dan bertolak belakang. Masing-masing substansi bersifat unik dan tidak dapat direduksi, misalnya substansi adi kodrati dengan kodrati, Tuhan dengan alam semesta, roh dengan materi, jiwa dengan badan dll.[31] Ada pula yang mengatakan bahwa dualisme adalah ajaran yang menggabungkan antara idealisme dan materialisme, dengan mengatakan bahwa alam wujud ini terdiri dari dua hakikat sebagai sumber yaitu hakikat materi dan ruhani.[32] Dapat dikatakan pula bahwa dualisme adalah paham yang memiliki ajaran bahwa segala sesuatu yang ada, bersumber dari dua hakikat atau substansi yang berdiri sendiri-sendiri. Orang yang pertama kali menggunakan konsep dualisme adalah Thomas Hyde (1700), yang mengungkapkan bahwa antara zat dan kesadaran (pikiran) yang berbeda secara subtantif.[33] Jadi adanya segala sesuatu terdiri dari dua hal yaitu zat dan pikiran. Yang termasuk dalam aliran ini adalah Plato (427-347 SM)[34], yang mengatakan bahwa dunia lahir adalah dunia pengalaman yang selalu berubah-ubah dan berwarna-warni. Semua itu adalah bayangan dari dunia idea. Sebagai bayangan, hakikatnya hanya tiruan dari yang asli yaitu idea. Karenanya maka dunia ini berubah-ubah dan bermacam-macam sebab hanyalah merupakan tiruan yang tidak sempurna dari idea yang sifatnya bagi dunia pengalaman. Barang-barang yang ada di dunia ini semua ada contohnya yang ideal di dunia idea sana (dunia idea).[35] Lebih lanjut Plato mengakui adanya dua substansi yang masing-masing mandiri dan tidak saling bergantung yakni dunia yang dapat diindera dan dunia yang dapat dimengerti, dunia tipe kedua adalah dunia idea yang bersifat kekal dan hanya ada satu. Sedang dunia tipe pertama adalah dunia nyata yang selalu berubah dan tak sempurna.[36] Apa yang dikatakan Plato dapat dimengerti seperti yang dibahasakan oleh Surajiyo (2005), bahwa dia membedakan antara dunia indera (dunia bayang-bayang) dan dunia ide (dunia yang terbuka bagi rasio manusia). Rene Descartes (1596-1650 M) seorang filsuf Prancis, mengatakan bahwa pembeda antara dua substansi yaitu substansi pikiran dan substansi luasan (badan). Jiwa dan badan merupakan dua sebstansi terpisah meskipun didalam diri manusia mereka berhubungan sangat erat.[37] Dapat dimengerti bahwa dia membedakan antara substansi pikiran dan substansi keluasan (badan). Maka menurutnya yang bersifat nyata adalah pikiran. Sebab dengan berpikirlah maka sesuatu lantas ada, cogito ergo sum! (saya berpikir maka saya ada).[38] Leibniz (1646-1716) yang membedakan antara dunia yang sesungguhnya dan dunia yang mungkin. Immanuel Kant (1724-1804) yang membedakan antara dunia gejala (fenomena) dan dunia hakiki (noumena).[39]

Pluralisme

Pluralisme (Pluralism) berasal dari kata Pluralis (jamak). Aliran ini menyatakan bahwa realitas tidak terdiri dari satu substansi atau dua substansi tetapi banyak substansi yang bersifat independen satu sama lain. Sebagai konsekuensinya alam semesta pada dasarnya tidak memiliki kesatuan, kontinuitas, harmonis dan tatanan yang koheren, rasional, fundamental. Didalamnya hanya terdapat pelbagi jenis tingkatan dan dimensi yang tidak dapat diredusir. Pandangan demikian mencangkup puluhan teori, beberapa diantaranya teori para filosuf yunani kuno yang menganggap kenyataan terdiri dari udara, tanah, api dan air.[40] Dari pemahaman diatas dapat dikemukakan bahwa aliran ini tidak mengakui adanya satu substansi atau dua substansi melainkan banyak substansi,[41] karena menurutnya manusia tidak hanya terdiri dari jasmani dan rohani tetapi juga tersusun dari api, tanah dan udara yang merupakan unsur substansial dari segala wujud.[42] Para filsuf yang termasuk dalam aliran ini antara lain: Empedakles (490-430 SM), yang menyatakan hakikat kenyataan terdiri dari empat unsur, yaitu api, udara, air dan tanah. Anaxogoras (500-428 SM), yang menyatakan hakikat kenyataan terdiri dari unsur-unsur yang tidak terhitung banyaknya, sebab jumlah sifat benda dan semuanya dikuasai oleh suatu tenaga yang dinamakan nous[43] yaitu suatu zat yang paling halus yang memiliki sifat pandai bergerak dan mengatur.[44]

Kesimpulan

Dari uraian yang telah dipaparkan, sekirannya dapat diambil kesimpulah bahwa ontologi merupakan cabang dari filsafat ilmu yang berbeda dengan metafisika yang objek kajiannya adalah segala sesuatu yang dapat ditangkap oleh panca indera yang berada pada alam fisik. Dalam masalah ontologi untuk mendekati segala sesuatu yang ada dapat dilakukan melalui pendekatan kuantitatif, kualitatif dan prosesnya. Cara yang dilakukan dengan pendekatan kauntitatif melahirkan aliran monisme, dualisme dan pluralisme, yang pada intinya masing-masing aliran memiliki argumen yang rasional. Dari apa yang telah diuraikan, pendapat atau pemikiran masing-masing filsuf dalam setiap aliran sangat dipengaruhi corak kehidupan atau latar belakang hidupnya. Sebagai contoh Thales, karena dia seorang saudagar yang banyak berlayar kenegeri Mesir,[45] maka pemikiran yang diungkapkanya yaitu bahwa semuanya adalah air. Karena hidup Thales kesehariannya tidak pernah luput dari air atau dengan kata lain pengamatannya selalu dipenuhi dengan nuansa air. Mungkin alasan ini (corak pemikiran yang dipengaruhi latar belakang kehidupan) tidak bisa digeneralisasikan terhadap munculnya pemikiran-pemikiran para filosuf yang lain. Dari ketiga aliran yang telah disebutkan seolah terdapat pertentangan yang begitu tajam tentang ”keadaanya”, tetapi ketika direnungkan dan dipahami lebih dalam bahwasanya ketiga aliran tersebut sejatinya bersifat komplementer, yang tidak mungkin meniadakan yang satu atas yang lainnya. Mungkin seperti itu.

Wallahu a’lam Bis Showab

Wallahul Muwaffiq Ila Ahdas sabil

Washalallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin Wa ‘ala ‘alihi Wa Shahbihi Wassalam.

Referensi

Ahmad Syadali dan Mudzakir, Filsafat Umum, Bandung: PT Pustaka Setia, 1997.

Burhanudin Salam, Logika Material; Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997.

M. Zainuddin, Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam, Malang: Bayu Media, 2003.

Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1988.

Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara (LPKN), 1997.

Surajiyo, Filsafat Ilmu Suatu Pengantar, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2005.

ONTOLOGI

(Monisme, Dualisme dan Pluralisme)

Disusun untuk memenuhi tugas ujian semester Filsafat Ilmu

Dosen Pengampu: Prof. Dr. Djamann’uri, M.A.

Oleh:

Nama : Dika Setiawan

NIM : 20101010035

PROGRAM PASCA SARJANA

MAGISTER STUDI ISLAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2011



[1]Surajiyo, Filsafat Ilmu Suatu Pengantar, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2005, hal. 4.

[2] Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1988, hal.23.

[3]Penulis dapatkan ketika kuliah Filsafat Pendidikan oleh Drs. Syamsudin,M.Pd., di PAI FAI UMY, 2008/2009

[4] Burhanudin Salam, Logika Material; Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997, hal. 70.

[5] Surajiyo, Filsafat Ilmu Suatu Pengantar, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2005, hal. 19

[6] Ibid., hal. 117

[7] mempersoalkan asal dan struktur di alam semesta, lihat Burhanudin Salam, 1997, hal 72.

[8]Burhanudin Salam, Logika Material; Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997, hal. 71.

[9] tentang Tuhan dan hubungan Tuhan dengan dunia realitas, ibid., hal 72.

[10] Ibid., hal.72.

[11] Berbeda dengan yang disampaikan oleh surajiyo (2005). Ontologi berasal dari kata ta onta (segala sesuatu yang ada dan logia ( ajaran atau ilmu pengetahuan), lihat hal.118. tetapi pada esensinya memiliki maksud yang sama.

[12] Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara (LPKN), 1997, hal. 744.

[13] Surajiyo, Filsafat Ilmu Suatu Pengantar, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2005, hal. 5.

[14] Kenapa disebut sebagai cabang filsafat ilmu bukan filsafat, karena memang ontologi dibawah cabang filsafat ilmu, sedang filsafat ilmu merupakan cabang dari filsafat. Lihat Jujun S Suriasumantri (1988), hal. 32.

[15] Surajiyo, Filsafat Ilmu Suatu Pengantar, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2005, hal. 118.

[16] M. Zainuddin, Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam, Malang: Bayu Media, 2003, hal. 32.

[17] Ibid., hal. 30.s

[18] Barang kali paham ontologi monistik ini dalam aliran teologi Islam, yang mewarisi paham kepada aliran Qodariah yang serba Tuhan.

[19] M. Zainuddin, Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam, Malang: Bayu Media, 2003, hal. 32.

[20] Ibid., hal. 32.

[21] Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara (LPKN), 1997, hal. 681.

[22] Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1988, hal. 66

[23] Surajiyo, Filsafat Ilmu Suatu Pengantar, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2005, hal. 118.

[24] Ibid.

[25] Ahmad Syadali dan Mudzakir, Filsafat Umum, Bandung: PT Pustaka Setia, 1997, hal. 40.

[26] Disampaikan dalam kulaiah Sains dalam Perspektif Al-Qur,an di FAI UMY, 2009.

[27] Ahmad Syadali dan Mudzakir, Filsafat Umum, Bandung: PT Pustaka Setia, 1997, hal. 40.

[28] Idib., hal.44.

[29] Ibid., 45.

[30] Surajiyo, Filsafat Ilmu Suatu Pengantar, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2005, hal. 119.

[31] Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara (LPKN), 1997, hal. 189.

[32] M. Zainuddin, Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam, Malang: Bayu Media, 2003, hal. 31.

[33] Jujun S Suriasumantri, 1988, hal. 66.

[34] Dalam Surajiyo, 2005. Ditulis Plato (428-348 SM), perbedaan ini terjadi karena salah pengetikan atau memang terjadi kaarena perbedaan sumber yang digunakan. Lihat hal. 121.

[35] Ahmad Syadali dan Mudzakir, Filsafat Umum, Bandung: PT Pustaka Setia, 1997, hal. 70.

[36] Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara (LPKN), 1997, hal. 189.

[37] Ibid.

[38] Jujun S.Suriasumantri, 1988, 66.

[39] Surajiyo, 2005, hal. 121.

[40] Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara (LPKN), 1997, hal. 861.

[41] Jujun S. Suriasumantri, 1988, hal. 121.

[42] M. Zainuddin, 2003, hal. 31.

[43] Nous berasal dari bahasa Yunani yang berarti pikiran atau intelek. Menurut Anaxagoras yaitu pikiran universal yang mengatur dan membuat alam semesta menjadi suatu keteraturan yang rasionaldan bisa dimengerti. Sedang menurut Aris Toteles, pikiran kekal yang bersifat Ilahiyah tempat segala bentuk mengaktualisasikan diri sehingga bisa ditemukan dan dimengerti atau pikiran manusia manusia yang meliputi pemahaman intelektual dan intuitif atas ide-ide yang bersifat fundamental. (Save M. Dagun, 1997, hal. 728).

[44] Surajiyo, 2005, hal. 121.

[45] Ahmad Syadali dan Mudzakir, 1997, hal. 39.

2 komentar: