To Be Intelectual Emotional and Spiritual Integrity

Sebuah Impian untuk mambangun lembaga pendidikan yang mampu mensinergikan antara potensi atau kecerdasan intelaktual, emosi dan spiritual yang pada akhirnya akan terbangun umat yang terbaik (khairu ummah)

Minggu, 12 Juni 2011

Psikologi Islami

Oleh Dika Setiawan

A. Pendahuluan

Dalam pandangan para ahli ilmu, akan kita jumpai perbedaan pandangan, yang sampai saat ini masih terus diperselisihkan yaitu apakan ilmu itu bebas nilai ataukah terikat oleh nilai. Tak terkecuali dengan bahasan kita kali ini, yaitu tentang psikologi. Apakah psikologi yang sudah ada dan mapan saat ini sudah memiliki ‘nilai’ ataukah malah masih bebas dengan nilai? Kalulah psikologi yang sudah mapan sekarang sudah memiliki nilai apakah lantas bisa langsung digunakan? Kalu belum apa yang harus dilakukan untuk memberi nilai pada psikologi?

Hal yang sangat menarik yang pernah dikemukakan oleh Malik B. Badri dalam The Dilemma of Psychologists yang diterjemahkan oleh Siti Zainab L. dengan Dilema Psikologi Muslim, dengan mengutip hadis Rasulullah, bahwasanya Rasulullah pernah meramalkan bahwa akan tiba saatnya nanti orang-orang Islam secara membabi buta mengikuti cara hidup orang-orang Kristen dan Yahudi, meskipun beberapa cara itu berkualitas rendah dan tidak Islam. Hal ini dengan indahnya diungkapkan dengan pernyataan Nabi. . . .”bahkan jika mereka masuk dalam liang biawakpun, orang Islam tanpa pikir panjang akan mengikutinya”.[1] Kaitanya dengan penrnyataan dan pertanyaan diatas adalah bagaimana sikap kita dalam menerima suatu ilmu yang berasal dari barat yang notabene berpaham, ilmu bebas nilai dengan memfilter dengan ajaran Islam yang tertuang dalam Al Qur’an dan As sunnah.

Dalam rangka memfilter teori-teori dalam psikologi ini yang memang ada yang bertentangan, seperti teori psikoanalisanya Sigmun Freud[2], para ahli psikologi mulai mengembangkan rumusan psikologi yang sesuai dengan ajaran Islam, yaitu Psikologi Islami. selain psikologi Islami, ada juga yang menggunakannya dengan istilah psikologi Islam dan Psikologi Qur’ani. Mengapa dipilihnya psikologi Islami, oleh Hanna Djumhana B. dijelaskan bahwa dengan nama ini diharapkan secara langsung tergambar karakteristik dan identitasnya yang semuanya bermuara pada nilai-nilai Islami. Dan sebagai wadah yang masih menanti kelengkapan isi, nama itu lebih luwes dan luas tinimbang nama-nama lain untuk sebuah gerakan Islamisasi psikologi yang saat ini masih memerlukan kesepakatan lebih lanjut dari para psikolog muslim mengenai wawasan, landasan, rumusan, ruang lingkup, fungsi, tujuan dan metodologinya.[3]

B. Pembahasan

1. Pengertian

Jamaludin Ancok dan Fuad Nashori S. (1994), dalam mendefisikan psikologi Islami, menggunakan dua klasifikasi pendekatan. Pendekatan pertama mengungkapkan bahwa yang dimaksud psikologi Islami adalah konsep psikologi modern---yang telah dikenal­­---yang telah mengalami proses filterisasi dan didalamnya terdapat wawasan Islam. Atau dengan kata lain psikologi Islami dapat diartika sebagai perspektif Islam terhadap psikologi modern dengan membuang konsep-konsep yang tidak sesuai dan bertentangan dengan Islam. Definisi ini pada dataran praktis memberikan wawasan Islam untuk kerja-kerja psikologi (teori-teori barat/ modern) dibenarkan. Kemapanan definisi ini kemudian menimbulkan beberapa pertanyaan yaitu, apakah secara subtansial pandangan diatas telah mencerminkan pandangan Islam tentang manusia? Apakah pandangan membangun konsep tentang manusia yang didasarkan pada pandangan psikologi barat kemudian dilapisi dengan pandangan Islam bukannya malah meyesatkan?

Dari dilemma yang telah dikemukakan diatas, kemudian diperlukan pendekatan yang kedua, yaitu yang menyatakan bahwa psikologi Islami adalah ilmu tentang manusia yang kerangka konsepnya benar-benar dibangun dengan semangat Islam dan bersandarkan pada sumber-sumber formal Islam, yaitu Al Qur’an dan As Sunnah (hadis) yang dibangun dengan memenuhi syarat-syarat ilmiah.[4] Dari pengertian ini muncul pendapat dari beberapa orang ahli psikologi muslim, sebuat saja Fuad Nashori, bahwa psikologi Islami sebagai aliran yang kelima[5] diantara aliran-aliran yang ada dalam psikologi modern.

Dari dua pengertian diatas yang memiliki perbedaan yang mendasar, bukan untuk dipilih salah satu tapi kedua-duanya dapat diakomodasikan. Pengertian pertama digunakan untuk tujuan jangka pendek sedang pengertian kedua digunakaan untuk tujuan jangka panjang. Karena pada saat ini psikologi barat sudah sangat mendominasi dan mendarah daging maka tugas kita adalah melakukan filterisasi. Sedang langkah yang lebih besar yaitu membangun psikologi yang berangkat dengan semangat dan sumber formal Islam. Hal yang mula-mula dilakukan adalah merumuskan terlebih dahulu konsep Islam tentang manusia, kemmudian membangun konsep-konsep lanjutan tentang manusia dengan tetap berpegang pada konsep dasar Islam tentang manusia. Kemudian baru dilakukan riset-riset imiah dengan konsep-konsep tersebut serta mencoba menghadirkan pendekatan-pendekatan psikologi Islami terhadap upaya pengembangan sumber daya manusia dan penyelesaian problem manusia.[6]

2. Wawasan dan landasan[7]

Allah SWT. Berfirman dalam Al Qur’an Surat Fushshilat: 53

óOÎgƒÎŽã\y $uZÏF»tƒ#uä Îû É-$sùFy$# þÎûur öNÍkŦàÿRr& 4Ó®Lym tû¨üt7oKtƒ öNßgs9 çm¯Rr& ,ptø:$# 3 öNs9urr& É#õ3tƒ y7În/tÎ/ ¼çm¯Rr& 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« îÍky­

”Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu”

Dari firman Allah diatas, tersirat tiga ragam ayat Tuhan sebagai tanda keagunganya yaitu

a. Ayat-ayat Qur’ani: diwahyukan dalam bahasa manusia (bahasa Arab) kepada para Rasul (Muhammad SAW) kemudian dituliskan dan dihimpun berupa kitab suci (Al Qur’an)

b. Ayat-ayat aafaaqi: ketentuan Tuhan yang ada dan bekerja pada alam semesta, khususnya alam fisik.

c. Ayat-ayat nafsani ketentuan Tuhan yang ada dan bekerja pada diri manusia termasuk kejiwaanya

Dalam hal ini psikologi harus dilihat sebagai upaya manusia untuk membuka rahasia sunatullah yang bekerja pada diri mausia (ayat-ayat nafsani) dalam artian menemukan berbagai asas, unsur, proses, fungsi dan hukum-hukum mengenai kejiwaan manusia. Berbeda dengan psikologi kontemporer-sekuler yang dapat dikatakan menggunakan semata-mata kemampuan intelektual untuk menemukan dan mengungkapkan asas-asas kejiwaan, psikologi Islami mendekatinya dengan memfungsikan akal dan keimanan sekaligus, yakni menggunakan secara optiml daya nalar yang obyektif-ilmiah dengan metodologi yang tepat, disamping merujuk pada petunjuk-Nya mengenai manusia yang tertera dalam Al Qur’an dan Hadis yang shahih dan pandangan para ulama yang teruji. Dengan demikin landasan psikologi Islami adalah ayat-ayat Qur’ani dan ayat-ayat nafsani yang saling mendukung atau lebih luas asas-asas keagamaan dan temuan-temuan iptek dibidang kemanusiaan. Namun demikian psikologi Islami merupakan psikologi dan sains yang mempunyai persyaratan-persyaratan ketat sebagai sains.

3. Ruang lingkup

Jika kita tengok lebih cermat ayat-ayat Al Qur’an dapat kita jumpai bahwa manusia menempati posisi penting dalam Al Qur’an. Ayat kedua dari lima ayat yang pertama kali diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhmammad membicarakan tentang manusia khalaqal insaana min ‘alaq. Jika diperhatikan lebih cermat , salah satu istilah yang berkenaan dengan manusia, yaitu nafs yang disebut berulang-ulang sampai ratusan kali. Belum lagi istilah al naas, al basyar, dan al insan serta bani adam. Istilah tersebut menunjukan betapa Al Qur’an begitu peduli berbicara tentang manusia.

Jiwa atau nafs bukanlah hal yang berdiri sendiri. Ia merupakan satu kesatuan dengan badan. Antara jiwa dan badan muncul suatu kesinambungan yang mencerminkan adanya totalitas dan unitas. Psikologi Islami akan mengkaji manusia dengan memperhatikan badan. Keadaan tubuh manusia bisa jadi merupakan cerminan jiwanya. Ekspresi badan hanyalah salah satu fenomena kejiwaan. Dalam merumuskan siapa manusia itu, psikologi Islami melihat manusia semata-mata dari prilaku yang diperlihatkan badannya. Bukan pula berdasarkan spekulasi tentang apa dan siapa manusia. Pasikologi Islami bermaksud menjelaskan manusia dengan memulainya dengan merumuskan apa kata Tuhan tentang manusia. Psikologi Islami menyadari adanya kompleksitas dalam diri manusia dimana hanya Sang Penciptalah yang mampu memahami dan mengurai kompleksitas itu.[8]

Psikologi Islami mengakui adanya hembusan ruh-Nya kedalam diri manusia (Q.S.Al Hijr: 29, Yassiin: 72, al A’raf: 172) mengenai ruh yang ditiupkan ini parea ulama sepakat bahwa ruh ini bukan sejenis ruh tetumbuhan (al nafs al nabatiyyah) atau ruh hewa ( al nafs al hayawaniyyah) dan juga bukan hasrat-hasrat rendah (ahwa) melainkan sejenis ruh yang amat halus dan luhur yang dikurniakan ar Rahman ar Rahim kepada manusia semata-mata. Tujuannya agar mereka mempunyai hubungan ruhaniah dengan Sang pemilik ruh yakni Allah SWT. Berbeda dengan pandangan psikologi barat yang hanya mengenal tri dimensional yakni raga (fisik-biologi), jiwa (psikologi) dan lingkungan sosial budaya (sosiokultural). Maka dalam psikologi Islami dikenal juga selain ketiga dimensi yaitu dimensi ruhani (spiritual).[9] Dari beberapa ungkapan yang telah dikemukakan diatas ada dua isti;lah yang tampak berbeda yaitu antara ruh dan jiwa, namun pada dasarnya keduanya adalah ungkapan atau istilah yang sama yaitu ruh adalah al nafs al mutmainnah,[10] seperti yang telah ditegaskan oleh Hanna Djumhanna B. diatas.

4. Tujuan dan fungsi

Dalam khasanah ilmu pengetahuan barat dinyatakan bahwa sains mempunyai tiga fungsi utama, yaitu:

a. Fungsi pemahaman (understanding)[11] : memahami seperti apa adanya dan dapat memberikan penjelasan yang benar, masuk akal dan ilmiah mengenai berbagai gejala alam dan pristiwa yang berkaitan dengan kehidupan manusia, eksistensi dan relasi antar manusia.

b. Fungsi pengendalian (control): member arah yang tepat-guna dan berhasil-guna untuk berbagai kegiatan manusia, serta memanfaatkan temuan-temuan ilmiah secara benar untuk meningkatkan kesejahteraan hidup manusia dan pengembangan ilmu dan teknologi. Disamping itu mencegah penyalahgunaan asas-asas dan temuan-temuan sains dan salah menggunakan penerapa teknologi, serta turut menanggulangi kerugian-kerugian yang ditimbulkannya.

c. Fungsi peramalan (prediction): memberi gambaran mengenai kehidupan di masa mendatang serta memperkirakan hal-hal yang akan terjadi pada periode waktu tertentu

Pskologi Islami sebagai sebuah corak psikologi yang erat kaitannya dengan nilai-nilai Islami, maka selain ketiga fungsi yang telah disebutkan diatas Psikologi Islami juga memiliki fungsi yaitu:

1) Fungsi pengembangan (development): memperluas dan mendalami ruang lingkup psikologi Islami, menyusun teori-teori baru, menyempurnakan metodologi dan menciptakan secara kreatif berbagai teknik dan pendekatan psikologis

2) Fungsi pendidikan (education): hakekat pendidikan adalah meningkatkan sumber daya manusia, misalnya dari keadaan tidak tahu menjadi tahu, dari buruk menjadi baik, dll. Dalam melaksanakan fungsi ini diharapkan psikologi Islami mampu menjabarkan dan menerapkan prinsip pengubahan nasib manusia seperti tercantum dalam Al Qur’an Surat ar Ra’d: 11 yang artinya “sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”. Untuk merealisasikanya Psikologi Islami perlu menyusun strategi pendidikan yang memanfaatkan pengetahuan psikologi seperti pemahaman diri (self insight), pengubahan sikap (attitude change), motivasi (motivation), penyelesaian masalah (problem solving), dan penerimaan diri (self acceptance). Selain itu asas-asas keagamaan juga perlu dilibatkan seperti, sabar, berserah diri, berdo’a, melakukan shalat istihkarah tawakal dan penuh harap kepada-Nya.

Sedang tujuan dari psikologi Islami yaitu tidak saja mengembangkan kesehatan mental pada diri pribadi dan masyarakat melainkan juga meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Dengan demikian tujuan psikologi Islami adalah membantu orang-orang menjadi sehat mentalnya dan sekaligus meningkatkan keimanan dan ketakwaannya menjadi mukmin dan mutaqin, atau dengan ungkapan Djamaludin Ancok bahwa misi besar psikologi Islami adalah menyelamatka manusia untuk memenuhi kecenderungan alaminya untuk kembali pada-Nya dan mendapat ridha-Nya.[12]

5. Konsep psikologi Islami tentang manusia

Sudah menjadi pengetahuan bagi kita bersama bahwa manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang sangat unik dan kompleks. Jika dipelajari dari berbagai sudut ilmu manapun maka akan ditemukan suatu pengetahuan yang ada pada manusia. Jika didekati dengan ilmu sosiologi misalnya, akan kita ketahui bahwasanya manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa bantuan dari orang lain, dan jika didekati dengan ilmu biologi, manusia adalah makhluk yang dapat tumbuh dan berkembang serta termasuk jenis hewan pemakan segala (bahasa jawa ‘rakus’). Dan jika didekati dengan ilmu psikologi, maka akan ada beberapa aliran yang menyatakannya diantaranya:[13]

a. Psikoanalisis

Menurut Sigmun Ferud, pendiri aliran ini menyatakan bahwa kepribadian manusia terdiri dari tiga sistem yaitu: Id (dorongan-dorongan biologis), Ego (kesadaran terhadap realitas kehidupan), dan Superego (kesadaran normatif) yang berinteraksi satu sama lain masing-masing memiliki fungsi dan mekanisme yang khas. Selain ketiga sistem itu manusia pun memiliki tiga strata kesadaran: alam sadar (the conscious), alam prasadar (the preconscious), dan alam tak sadar (the unconscious) yang juga secara dinamis berinteraksi satu dengan yang lainnya.

Pandangan ini diumpamakan dengan gunung es yang terapung disamudra, sebagaian kecil tampak dipermukaan (alam sadar), bagian terbesar tidak tampak karena berada di dalam samudra (alam tak sadar) dan diantara keduanya ada bagian yang karena gerakan naik-turunnya gelombang kadang-kadang hilang terendam dibawah permukaan atau tampak muncul keatas (alam prasadar). Dengan menggunkan metode asosiasi bebas, hipnotis analisis mimpi, analisis salah ucap dan tes proyeksi hal-hal yang terkandung dalam alam tak sadar dapat terungkap kealam sadar.

b. Psikologi prilaku

Berbeda dengan aliran psikoanalisis yang menggambararkan bahwa secara tak disadari dorongan nafsu-nafsu rendah banyak menentukan prilaku manusia, sedang aliran psikologi prilaku menganggap bahwa upaya rekayasa dan kondisi lingkungan-luar adalah hal yang paling mempengaruhi dan menentukan kepribadian manusia. Dapat dipahami bahwa aliran ini menganggap manusia pada hakikatnya adalah netral, baik-buruknya prilaku dipengaruhi oleh situasi dan perlakuan yang dialami.

Pada aliran psikologi prilaku terdapat asas-asas perubahan prilaku diantaranya yaitu:

1) Classical conditioning (pembiasaan klasik), suatu rangsangan akan menimbulkan pola reaksi tertentu apabila rangsangan itu sering diberikan bersamaan rangsangan lain yang secara alamiah menimbulkan pola reaksi alamiah menimbulkan pola reaksi tersebut. Misal pemberiaan makanan diiringi bunyi bel pada seekor anjing, lama kelamaan walaupun makanan tidak diberikan anjing akan mengeluarkan liur walau hanya mendengar bunyi bel.

2) Law of effect (hukum kaibat), perilaku yang menimbulkan akibat-akinat yang memuaskan pada diri si pelaku, cenderung akan diulangi, sebaliknya prilaku yang menimbulkan akibat-akibat yang tidak memuaskan atau merugikan cenderung akan diihentikan.

3) Operant conditioning (pembiasaan operant), suatu pola prilaku akan menjadi mantap apabila dengan prilaku itu berhasil diperoleh hal-hal yang diinginkan si pelaku (penguat positif) atau mengakibatkan hilangnya hal-hal yang tak diinginkan (penguat negatif). Dilain pihak suatu pola prilaku tertentu akan menghilang apabila prilaku itu mengakibatkan dialaminya hal-hal yang tak menyenangkan (hukuman), atau mengakibatkan hilangnya hal-hal yang menyenangkan si pelaku (penghapusan).

4) Modeling (peneladanan), perubahan prilaku terjadi karena proses dan peneladanan terhadap prilaku orang lain yang disenangi dan dikagumi.

c. Psikologi humanistik

Aliran ini berasumsi bahwa manusia pada dasarnya memiliki potensi-potensi yang baik, yang lebih banyak atau besar ketimbang potensi buruknya. Aliran ini memfokuskan perhatiannya pada telah kualitas-kualitas insani, yaitu sifat-sifat dan kemampuan khusus manusia yang terpatri pada eksistensi manusia seperti kemampuan abstraksi, daya analisis dan sintesis, imajinasi, kereativitas, kebebasan berkehendak, tanggung jawab, aktualisasi diri, makna hidup, pengembangan pribadi, humor, sikap etis dan rasa estetika.

d. Psikologi transpersonal

Yang menjadi fokus telaah dari aliran ini adalah the highest potentials (potensi-potensi luhur) dan states of consciousness (fenomena kesadaran) yang ada pada diri manusia. Aliran ini juga menaruh perhatian pada dimensi spiritual manusia yang ternyata mengandung berbagai potensi dan kemampuan yang luar biasa.

Pandangan tentang manusia yang dikemukakan oleh para ahli melalui alirannya, terlihat dengan jelas adanya perbedaan natara satu aliran dengan aliran yang lainya. Hal ini menunjukan kerumitan dan kompleksitas manusia, maka dari itu tidak angkuh kiranya sebagai manusia yang serba terbatas dan amat lemah untuk mengkaji manusia atau mengetahui manusia dari yang ‘membuatnya’ yaitu Allah melalui firmannya. Dalam Al Qur’an banyak dijelaskan tentang manusia dan ciri-cirinya yaitu diantaranya:[14]

1) Manusia memiliki raga dengan bentuk yang sebaik-baiknya. Dengan ini manusia diharapkan bisa bersyukur kepada Allah SWT. Sebagaimana tercantum dalam Q.S. at Tagabun: 3, at Tiin: 4, an Nahl: 78. Dengan baiknya raga malah membuat banyak manusia ingkar, kafir dan tidak bersyukur Q.S. al Insan: 2-3.

2) Manusia itu baik dari segi fitrah sejak semula. Manusia tidak mewarisi dosa asal karena adam dan hawa keluar dari surga. Salah satu ciri fitrah manusia adalah menerima Allah sebagai Tuhan. (Q.S ar Ruum: 30 dan hadis).

3) Manusia memiliki ruh. Al Qur’an menyatakan bahwa kehidupan manusia tergantung pada wujud ruh dalam badannya. Bagaimana ruh itu bersatu dengan dengan badan yang kemudian membentuk manusia yang menjadi khalifah dijelaskan oleh Al Quran surat al Hijr: 29. Tetapi kita dilarang untuk mempersoalkan wujud dan bentuknya (Q.S al Isra’: 85).

4) Manusia memiliki kebebasan kemauan dan kehendak (free will) yaitu kebebasan untuk memilih tingkah lakunya sendiri, kebaikan atau keburukan. Sebagai kahalifah manusia menerima dengan kemauan sendiri amanah yang tidak dapat dipikul oleh makhluk-makhluk lain. (Q.S al Kahfi: 29).

5) Manusia memiliki akal. Akal dalam pengertian Islam bukan otak, melainkan daya berpikir yang terdapat dalam jiwa manusia. Akal juga merupakan ikatan tiga unsur yaitu pikiran, perasaan dan kemauan. Bila ikatan itu tidak ada maka tidak ada akal. Yang dengan akal ini manusia diharapkan mampu memahami fenomena alam semesta (Q.S. al Baqarah: 31-33).

6) Manusia memiliki nafsu. Safsu sering dikaitkan dengan gejolak atau dorongan yang terdapat dalam diri manusia. Apabila dorongan itu berkuasa dan manusia tidak mengendalikannya maka manusia akan tersesat (Q.S. al Furqan: 43-44). Kesesatan manusia terjadi karena manusia tidak menggunakan hati dan indranya yang dimiliki (Q.S al ‘Araf: 178-179).

Sementara itu ditinjau dari segi relasinya, baik yang positif maupun yang negatif, manusia dibagi menjadi empat macam diantaranya yaitu:[15]

a) Hubungan manusia dengan dirinya sendiri, yang ditandai dengan kesadaran untuk melakukan amal ma’ruf dan nahi munkar (Q.S. ali Imran: 110) atau malah mengumbar nafsu-nafsu rendah (Q.S. Shad: 6, al Jatsiyah: 23).

b) Hubungan antar manusia, dengan usaha membina silaturrahmi (Q.S. an Nissa: 1) atau justru memutuskan silaturrahmi (Q.S. Yusuf: 100).

c) Hubungan manusia dengan alam sekitar, yang ditandai dengan upaya pemanfaatan dan pelestarian alam dengan sebaik-baiknya (Q.S. Hud: 6) atau justru menimbulkan kerusakan alam (ar Ruum: 41).

d) Hubungan manusia dengan Allah, dengan kewajiban menjalankan ibadah kepada-Nya (Q.S. adz Dzariat: 56) atau menjadi ingkar dan syirik kepada Allah (Q.S an Nissa: 48).

Inilah beberapa gambaran yang ditunjukan oleh Allah melalui firman-firmannya di dalam Al Qur’an al Karim. Dengan penjelasan ini, diharapkan kita sebagai umat Islam tidak salah mengkonsepsi tentang jati diri manusia serta tidak dalam memperlakukan (treatment) dirinya sendiri. Persoalan tentang apa dan siapa manusia, dalam psikologi Islami tidak hanya dijawab oleh eksperimen-eksperimen, observasi atau terbatas pada sandaran akal pikiran tetapi lebih dari itu persoalan tentang ini perlu ditanyakan kepada yang menciptanya yaitu Allah melalui ayat-ayat qauliyah yang kemudian, dipadupan dengan ayat-ayat kauniyah.

6. Psikologi Islami dan Pendidikan Agama

Seperti yang telah dikemukakan pada bagian awal bahwa salah satu fungsi atau tugas psikologi Islami adalah sebagai fungsi pendidikan. Oleh karenanya hakekat pendidikan dalam hal ini pendidikan agama adalah meingkatkan sumberdaya manusia. Dalam melaksanakan fungsi ini, psikologi islami mencoba menjabarkan dan melaksanakan prinsip pengubahan nasib manusia, seperti yang tertera dalam Q.S. ar Rad: 11.

¼çms9 ×M»t7Ée)yèãB .`ÏiB Èû÷üt/ Ïm÷ƒytƒ ô`ÏBur ¾ÏmÏÿù=yz ¼çmtRqÝàxÿøts ô`ÏB ̍øBr& «!$# 3 žcÎ) ©!$# Ÿw çŽÉitóム$tB BQöqs)Î/ 4Ó®Lym (#rçŽÉitóム$tB öNÍkŦàÿRr'Î/ 3 !#sŒÎ)ur yŠ#ur& ª!$# 5Qöqs)Î/ #[äþqß Ÿxsù ¨ŠttB ¼çms9 4 $tBur Oßgs9 `ÏiB ¾ÏmÏRrߊ `ÏB @A#ur ÇÊÊÈ

“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.”

Prinsip pengubahan nasib ini sejalan dengan ungkapan yang menyatakan bahwa dimana ada kemauan pasti akan ada jalan. Dan untuk merealisasikannya tugas psikologi Islami adalah menyusun strategi pendidikan dengan memanfaatkan pengetahuan psikologi seperti pemahaman diri (self insight), pengubahan sikap (attitude change), motivasi (motivation), penyelesaian masalah (problem solving), dan penerimaan diri (self acceptance). Setelah diketahui konsep psikologi Islami serta manusia dalam pandangan psikologi Islami, maka hal yang perlu dilakukan didalam pendidikan agama adalah terlebih dahulu mengembangkan filsafat pendidikan Islam. Karena memang hal ini menjadi pusat perhatian yang mendasar bagi kita sebelum kita memabahas pendidikan agama secara umum, karena muara dari segala proses pendidikan adalah pada filsafatnya. Dalam filsafat pendidikan Islam, landasan filsafat mengenai manusia yaitu theosentrisme atau Allah-sentrisme, berbeda dengan filsafat barat yang menyatakan bahwa landasan filsafat manusia adalah antroposentrisme (pusat segalanya adalah manusia).[16] Dalam pandangan barat, bahwa dimensi manusia terdiri dari dimensi kejiwaan ragawi, kejiwaan dan lingkungan tetatpi dalam Islam ditambah satu lagi yaitu dimensi ruhani, perbedaan pandangan ini akan mempengaruhi corak pendidikan. Dalam pendidikan barat dimensi ruh ini nyaris tak tersentuh sehingga pendidikan barat cenderung gersang dan berorientasi hanya pada materi. Sedang pendidikan dalam dunia Islam saat ini cenderung “sekuler” berorientasi pada ruh dan kurang perlakuan pada hal-hal yang bersifat materi, dalam hal ini tugas pendidikan agama Islam adalah memadukan antara kebutuhan yang bersifat “materi” dan “ruhani” demi mewujudkan manusia yang bahagia di dunia dan akhirat.

C. Kesimpulan

Dari uraian yang telah dikemukakan diatas dapat di ambil kesimpulan bahwasanya psikologi Islami merupakan konsep baru dalam psikologi yang memiliki orientari jangka pendek dan jangka panjang, dalam jangka pendek dan praktik, psikologi Islami dimaksudkan untuk memfilter konsep-konsep yang berasal dari ilmuan barat untuk disesuaikan dengan konsep atau ajaran Islam yaitu Al Qur’an dan hadis. Sedang jangka panjang psikologi Islami berusaha untuk membangun pemahaman tentang konsep bangunan manusia yang didasari tidak hanya mengandalkan kemampuan akal, tetapi juga besandar pada nash-nash yang shahih.

Pengetahuan tentang manusia akan mempengaruhi, cara merumuskan konsep-konsep dan cara memperlakukan manusia dalam proses pendidikannya. Dalam psikologi Islami, manusia adalah makhluk yang tidak hanya memiliki kebutuhan yang bersifat materi tetapi juga kebutuhan yang bersifat ruhai. Untuk menjaga keseimbangan ini maka pendidikan agama berfungsi untuk memberikan pemahaman diri sehingga menimbulkan perubahan kearah sikap yang positif. Mungkin serperti itu, Wallahu’alam.

D. Referensi

Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi Islami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.

Jamaludin Ancok dan Fuad Nashori S, Psikologi Islami: Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994.

Malik B Badri, The Dilemma of Psychologists ( Dilema Psikologi Muslim) , pent. S.Z Luxfiati, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989.

PSIKOLOGI ISLAMI DAN PENDIDIKAN AGAMA

Diajukan sebagai tugas kelompok kuliah Psikologi Agama

Dosen pengampu

Dr. Sekar Ayu Aryani, MA.

Oleh:

Ambar Arimbi :20101010031

Dika Setiawan :20101010035

Ellya Fuadiyah :20101010036

Ida Zusnani :20101010038

Syihabudin Rahman :20101010046

PROGRAM PASCA SARJANA

MAGISTER STUDI ISLAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2011



[1] Malik B Badri, The Dilemma of Psychologists ( Dilema Psikologi Muslim) , pent. S.Z Luxfiati, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989, hal.1.

[2] Tentang tahapan perkembangan seksual anak, menurutnya menjadi normal seorang anak yang tidak bisa tenag, suka menggaruk-garuk anusnya. Karena pada tahap ini anak sedang mengalami sebuah tahap seksual yang normal yaitu masa anal, lebih lanjut baca Dilema Psikologi Muslim, hal. 37.

[3] Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi Islami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995, hal. 3.

[4] Jamaludin Ancok dan Fuad Nashori S, Psikologi Islami: Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994, hal. 146-147.

[5] Psikoanalisis, psikologi prilaku, psikologi humanistik dan psikologi transpersonal. Lebih lanjut baca Hanna Djumhana B., (1995), hal. 49.

[6] Ibid.

[7] Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi Islami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995, hal. 4.

[8] Jamaludin Ancok dan Fuad Nashori S, Psikologi Islami: Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994, hal. 148-149.

[9] Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi Islami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995, hal. 8.

[10] Lihat Al Qur’an surat al Fajr : 27.

[11] Dalam Djamaludin Ancok dan Fuad Nashori (1994) disebut sebagi fungsi menerangkan (explanation)

[12] Ibid.

[13] Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi Islami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995, hal.49-55.

[14] Jamaludin Ancok dan Fuad Nashori S, Psikologi Islami: Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994, hal.157-160.

[15] Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi Islami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995, hal. 54.

[16] Ibid., hal. 9.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar