To Be Intelectual Emotional and Spiritual Integrity

Sebuah Impian untuk mambangun lembaga pendidikan yang mampu mensinergikan antara potensi atau kecerdasan intelaktual, emosi dan spiritual yang pada akhirnya akan terbangun umat yang terbaik (khairu ummah)

Minggu, 12 Juni 2011

Masyarakat Ideal (dalam Al Qur’an Surah Al Baqarah: 143)

Oleh Dika Setiawan

Pendahuluan

Islam menaruh perhatian terhadap masyarakat seperti perhatiannya terhadap individu. Masyarakat dan individu adalah satu sama lain saling mempengaruhi.[1] Karena baiknya suatu masyarakat disebabkan baiknya individu begitu juga sebaliknya rusaknya masyarakat karena disebabkan rusaknya individu. Oleh karena itu Allah mengisyaratkan bahwa jika suatu masyarakat ingin baik, maka langkah awal yang harus diperbaiki terlebih dahulu adalah dengan memperbaiki individu-individunya. Untuk membentuk individu-individu yang baik maka perlu lingkungan atau masrarakat yang baik pula. Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh Al Qardhawy yaitu baiknya individu adalah suatu keharusan bagi baiknya masyarakat, karena individu adalah bagaikan batu bata dalam suatu bangunan, maka tidak ada kebaikan pada bangunan jika batu batanya rapuh. Demikian pula tidak ada kebaikan bagi individu kecuali berada dalam masyarakat yang membantunya untuk tumbuh dengan baik, proses sosialisasi yang benar dan berprilaku yang lurus. Masyarakat merupakan tanah dimana benih individu tumbuh, berkembang dan mekar membesar dalam iklimnya, memanfaatkan langit, udara dan sinar matahari. Karenanya Nabi tidak hijrah ke Madinah melainkan suatu upaya menuju masyarakat masa depan (masyarakat harapan) dimana aqidah Islam, niilai, syiar dan syariatnya dapat terwujud.[2]

Dalam Al Qur’an banyak digambarkan tentang ciri atau kriteria suatu masyarakat yang ideal (masyarakat harapan) yang Allah telah informasikan kepada kita. Salah satu ayat Al Qur’an yang mengabarkan tentang masyarakat ideal yang dimaksudkan oleh Allah yaitu terdapat dalam Surah Al Baqarah: 143.

Karena terlalu banyaknya gambaran tentang masyarakat ideal yang dijelaskan oleh Al Qur’an, maka dalam hal ini penulis memfokuskan diri untuk membahas tentang gambaran masyarakat ideal yang termaktub dalam Surah Al Baqarah: 143.

Pembahasan

Allah SWT. Telah berfirman dalam Al Qur’an Surah Al Baqarah: 143, yang didalamnya menegaskan bahwa Allah menjadikan umat Islam sebagai ummathan wasathan untuk menjadi saksi bagi manusia.

y7Ï9ºxx.ur öNä3»oYù=yèy_ Zp¨Bé& $VÜyur (#qçRqà6tGÏj9 uä!#ypkà­ n?tã Ĩ$¨Y9$# tbqä3tƒur ãAqߧ9$# öNä3øn=tæ #YÎgx© 3 $tBur $oYù=yèy_ s's#ö7É)ø9$# ÓÉL©9$# |MZä. !$pköŽn=tæ žwÎ) zNn=÷èuZÏ9 `tB ßìÎ6®Ktƒ tAqߧ9$# `£JÏB Ü=Î=s)Ztƒ 4n?tã Ïmøt7É)tã 4 bÎ)ur ôMtR%x. ¸ouŽÎ7s3s9 žwÎ) n?tã tûïÏ%©!$# yyd ª!$# 3 $tBur tb%x. ª!$# yìÅÒãÏ9 öNä3oY»yJƒÎ) 4 žcÎ) ©!$# Ĩ$¨Y9$$Î/ Ô$râäts9 ÒOŠÏm§

“dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa Amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.”

Pandangan para mufasir

Untuk memahami ayat 143 surah Al Baqarah, para ulama tafsir telah menafsirkannya diantaranya adalah Sayyid Quthb, beliau mengatakan bahwa umat Islam adalah umat pertengahan yaitu umat yang adil dan pilihan serta menjadi saksi atas manusia seluruhnya, maka ketika itu umat Islam menjadi penegak keadilan dan keseimbangan diantara manusia.[3] Senada dengan apa yang dikemukakan oleh Quraish Shihab yang mengatakan bahwa Ummathan wasthan yaitu umat pertengahan moderat dan teladan sehingga dengan demikian keberadaan kaum dalam posisi pertengahan itu, sesuai dengan posisi ka’bah yang berada dipertengahan pula. Posisi pertengahan menjadikan manusia tidak memihak kekiri dan kekanan, hal mana mengantar manusia berlaku adil. Posisi pertengahan menjadikan seseorang dapat dilihat oleh siapapun dalam penjuru yang berbeda dan ketika itu ia dapat mejadi teladan bagi semua pihak. Posisi itu juga menjadikannya dapat menyaksikan siapapun dan dimanapun. Allah menjadikan umat Islam pada posisi pertengahan agar umat Islam menjadi saksi atas perbuatan umat yang lain. Tetapi hal ini tidak dapat dilakukan kecuali jika menjadikan Rasulullah SAW. syahid yakni saksi yang menyaksikan kebenaran sikap dan perbuatan kalian dan beliaupun kalian saksikan, yakni kalian jadikan teladan dalam segala tingkah laku.

Ummathan wasathan juga diartikan pertengahan dalam pandangan tentang Tuhan dan dunia. Tidak mengingkari wujud Tuhan, tetapi tidak juga menganut paham polyteisme (banyak Tuhan). Pandangan Islam adalah Tuhan Maha Wujud Dia Maha Esa. Pertengahan juga adalah pandangan umat Islam tentang kehidupan dinia ini. Pandangan Islam tentang hidup adalah disamping ada dunia juga ada akhirat, keberhasilan di akhirat ditentukan oleh iman dan amal shalih di dunia. Manusia tidak boleh tenggelam dalam materialism tidak pula membumbung tinggi dalam spiritualisme.[4] Sementara itu Ibnu Katsir mengatakan bahwa yang dimaksud Wasathan berarti pilihan dan yang terbaik, Allah menjadikan umat ini merupakan umat yang terbaik. Allah SWT. Telah mengkhususkannya dengan syariat-syariat yang paling sempurna dan tuntunan-tuntunan yang paling lurus serta jalan-jalan yang paling jelas, seperti dalam Al Qur’an Surat Al Hajj: 78.[5] Wasathan menurutnya juga bisa diartikan sebagai adil, hal ini berdasar atas hadits riwayat Ahmad yang mengatakan bahwasanya yang akan menjadi saksi para nabi yaitu Nabi Mumammad dan umatnya.[6]

Senada dengan apa yang telah dikemukakan diatas, Al Maraghi menyatakan bahwa sikap umat Islam tengah-tengah diantara dua ekstrim. Sebelum lahirnya Islam, umat manusia terbagi menjadi dua kelompok yaitu, pertama, orang-orang yang selalu cenderuang kepada kepentingan dunai dan kebutuhan jasmaniah, seperti kaum Yahudi dan musyrikin. Kedua, yaitu orang-orang yang mengekang atau membelenggu diri dengan adat kebiasaan dan kepentingan rohaniah secara total, sehingga sama sekali meninggalkan hal-hal yang bersifat duniawiah termasuk kebutuhan jasmaniah mereka. Mereka adalah kaum Nasrani, sabi’in dan beberapa pengikut sekte agama hindu penyembah berhala, yakni kelompok yang popular dengan olahraga yoga. Kemudia Islam lahir yang berupaya memadu antara dua kebutuhan rohaniah dan jasmaniah (duniawiah) disamping memberikan hak-hak secara manusiawi.

Umat Islam dikatakan sebagai umat yang pertengahan jika mengikuti jejak ajaranya, sebab ajaran-ajaran belaiau adalah undang-undang bagi para pengikutnya, siapapun yang menyimpang dan menciptkan adat tersendiri yang menyimpang dari ajaran beliau, maka ketika itu ajaran Rasul merupakan bumerang bagi mereka sendiri, merekapun bukan termasuk golongan Rasulullah. Jika seseorang tidak berlaku sebagaimana prilaku yang diteladani Rasul, maka ia bukan termasuk yang merupakan bersikap pertengahan, tetapi ia telah memihak kepada salah satu diantara kedua golongan ekstrim.[7] Dari uraian yang telah dipaparkan oleh sebagaian mufasir, sekiranya dapat diambil benang merah bahwasanya ummathan wasathan merupakan umat pertenganahan yang utama atau terbaik serta adil sehingga dapat menjadi saksi atas perbuatan manusia. Kenapa umat Islam oleh Allah dijadikan umat yang terbaik atau umat plihan atau umat yang adil? Untuk menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu marilah kita simak pemaparan yang dikemukakan oleh Sayyid Quthb. Beliau mengklasifikasikan umathan wasathan dalam berbagai bentuknya, adalah sebagai berikut:

1. Ummatan wasathan (umat pertengahan) dengan segala makna wasath baik yang diambil dari kata wisaathah yang berarti bagus dan utama, maupun dari kata wasath yang berarti adil dan seimbang atau dari kata wasath dalam arti material indrawi.

2. Ummathan wasathan dalam tashawur pandangan, pemikiran, dan keyakinan. Umat Islam bukanlah umat yang semata-mata bergelut dan terhanyut dengan ruhiyah (rohani) dan juga bukan umat yang semata-mata beraliran materi (materialisme) akan tetapi umat Islam adalah umat yang pemenuhan nalurinya seimbang dan bersesuaian dengan pemenuhan jasmani.

3. Ummathan wasathan dalam pemikiran dan perasaan. Umat Islam bukanlah umat yang beku dan stagnan dengan apa yang diketahui. Juga bukan umat yang tertutup terhadap eksperimentasi ilmiah dan pengetahuan-pengetahuan lain. Mereka juga bukan umat yang mudah mengikuti suara-suara yang didengung-dengungkan orang lain dengan taklid buta seperti taklidnya kera yang lucu. Akan tetapi umat Islam adalah umat yang berpegang pada pandangan hidup, manhaj dan prinsipnya.

4. Ummathan wasathan dalam peraturan dan keserasian hidup. Umat Islam tidak hanya bergelut dalam hidupnya dengan perasaan dan hati nurani, dan juga tidak terpaku dengan adab dan aturan manusia. Akan tetapi umat Islam mengangkat nurani manusia dengan aturan dari Allah SWT. Serta dengan suatu arahan dan pengajaran. Dan menjamin aturan masyarakat dengan suatu pengaturan yang menyeluruh. Islam tidak membiarkan aturan kemasyarakatan dibuat oleh penguasa dan juga tidak dilakukan secara langsung oleh wahyu. Tetapi aturan kemasyarakatan itu adalan percampuran antara keduanya yakni aturan yang berasal dari wahyu dan dilaksanakan oleh penguasa.

5. Ummathan wasathan dalam ikatan dan hubungan. Islam tidak membiarka manusia melepaskan dan melampaui batas dalam individualnya dan juga tidak meniadakan peran individualnya dalam masyarakat atau Negara. Islam juga tidak membiarkan serakah dan tamak dalam kehidupan kemasyarakatannya. Aka tetapi Islam memberikan kebebasan yang positif saja, seperti kebebasan menuju kemajuan dan pertumbuhan.

6. Ummathan wasathan dalam tempat, yakni suatu tempat dipermukaan bumi dimana umat Islam ada diseluruh peloksoknya baik di barat, timur, utara maupun selatan dengan posisi ini umat Islam menjadi saksi atas manusia lainnya.

7. Ummathan wasathan dalam zaman. Mengakhiri masa anak-anak dengan menyongsong masa kedewasaan berpikir. Tegak ditengah-tengah dengan mengikis khurafat dan takhayul yang melekat karena terbawa dari zaman kebodohan dan kekanak-kanakan yang lalu dan memelihara kemajaun akal yang dikendalikan hawa nafsu syaitan.[8]

Dari uraian diatas maka dapat diambil kesimpulan sekaligus untuk menjawab pertanyaan diatas, bahwa umat Islam oleh Allah dijadikan sebagai umat terbaik, pilihan atau adil karena pertama, umat Islam mampu menyeimbangkan pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani tidak terjebak pada salah satunya. Kedua, dari cara berpikirnya umat Islam tidak stagnan dalam pemikiran dan perbuatan serta tidak taqlid buta terhadap suara-suara yang didengungkan dan tidak tertutup terhadap eksperimen-eksperimen ilmiah dan pengetahuan yang lain dengan berpegang teguh pada pandangan hidup, manhaj dan prinsipnya. Ketiga, dalam hal aturan umat Islam tidak menggunakan aturan kecuali sesuai dengan apa yang telah dituntunkan oleh Allah tetapi juga tidak antipati terhadap aturan yang telah dibuat Negara selama tidak bertentangan dengan syari’at. Keempat, umat Islam mampu mengkolaborasikan antara kepentingan individunya dan kepentingan masyarakat, tidak terjebak pada salah satunya yaitu menjadi individu yang individualistik atau malah meniadakan sama sekali peran keindividuannya. Dan lain-lain.

Tidak bisa diingkari bahwa pada zaman sekarang umat Islam sudah tidak mengambil lagi posisi yang sebenarnya yang telah diberikan Allah SWT. Kepadanya. Umat sudah kosong dari hukum Allah dalam arti sudah tidak lagi menggunakan manhaj atau metode yang tealah dipilihkan Allah untuknya. Umat sudah mengambil beragam macam metode yang bukan dari Islam, sekaligus umat telah menerapkan celupan yang bukan celupan dari Allah.[9]

Pengertian

Dari beberapa penjelasan yang telah dikemukakan oleh beberapa mufasir mengenai ayat ini (Q.S. Al Baqarah: 143) kemudian penulis akan memformulasikanya untuk mengidentifikasi masyarakat ideal. Sebelum penulis menguraikan lebih lanjut mengenai masyarakat ideal terlebih dahulu penulis akan memaparkan pengertian tentang masyarakat ideal itu sendiri.

Kata ummat terambil dari kata amma-yaummu yang berarti menuju menumpu dan meneladani. Menurut Qurais Shihab ummat diartikan sebagai himpunan pengikut nabi Muhammad. Dalam hal ini menurutnya lagi kenapa Al Qur’an menggunakan kata ummat karena didalamnya dapat menampung perbedaan kelompok-kelompok, betapapun kecil jumlah mereka, selama masih pada arah yang sama yaitu Allah SWT.[10] Dari kata ummat—dalam pengertian himpunan-- inilah maka kita maka kita mengenal istilah masyarakat.

Secara umum masyarakat diartikan sebagai kumpulan orang atau individu. Sedangkan dalam (Quraish Shihab, 1996) masyarakat diartikan sebagai kumpulan sekian banyak individu­­ –kecil atua besar—yang terkait oleh satuan adat, situs atau hukum khas dan hidup bersama. Dalam bahasa Al Qur’an digunakan beberapa kata diantaranya: qawm, ummah, syu’ub dan qobail. [11] dari arti yang telah dipaparkan dapat dimengerti bahwa masyarakat adalah kumpulan dari sekian orang atau individu yang hidup bersama dan memiliki tujaun bersama serta terikat oleh sebuah aturan yang telah disepakati bersama dan bersama-sama atau hidup bersma dalam waktu yang lama.

Sedangkan ideal dalam pengertian ini adalah sesuai dengan yang dicita-citakan. meminjam istilah Ali Nurdin, maksud dari pengertian masyarakat ideal dalam pembahasan ini adalah gambaran yang bersifat umum dan normativ mengenai esensi atau hakikat masyarakat yang dicita-citakan oleh Al Qur’an Surah Al Baqarah: 143.[12]

Kata wasathan terdiri dari huruf wau, sin dan tha’ dasar pertengahan atau moderat yang memang merujuk pada pengertian adil. Ar Raghib seperti yang dikutip Ali Nurdin, mengartikan wasathan sebagai sesuatu yang berada dipertengahan yang kedua ujungnya pada posisi sama. Ummathan wasathan adalah masyarakat yang berada dipertengahan dalam arti moderat, posisi pertengahan menjadikan anggota tidak memihak kekiri dan kekanan, yang dapat mengantar manusia berlaku adil. Posisi itu juga yang menajdikannya dapat menyaksikan siapapun dan dimanapun. Allah menjadikan umat Islam pada posisi pertengahan agar menajdi saksi atas perbuatan manusia, yakni umat yang lain.

Abdullah Yusuf Ali mengartikan wasathan sebagai justly balance maksudnya bahwa esensi ajaran Islam adalah menghilangkan segala bentuk ekstriminitas dalam berbagai hal. Kata wasathan juga menunjuk pada letak geografi yaitu letak geografi tanah Arab berada di pertengahan bumi.[13] Dari beberapa pengertian yang dikemukakan diatas, mengisyaratkan bahwa sebuah masyarakat ideal terbangun dari sikap para personnya yang berlaku tidak berlebih-lebihan dari satu urusan kepada urusan yang lain, atau berada pada posisi tengah diantara dua ekstrim. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Quraish Shihab yang mengemukakan bahwa pada mulanya kata wasath berarti segala sesuatu yang baik sesuai dengan objeknya. Sesuatu yang baik berada pada posisi dua ekstrim, yang dicontohkan bahwa keberanian adalah pertengahan antara sikap ceroboh dan takut, kedermawanan adalah pertengahan antara sikap kikir dan boros, dll, dari situ berkembang maknanya menjadi tengah.[14]

Sementara itu Muhammad Quthb, mengatakan bahwa ummathan wasathan jika dihubungkan pada posisi Islam yang berada di tengah sisi ekstrim,--yaitu kapitalisme dan komunisme-- Jika diperhatikan tiga sistem kehidupan yang diperjuangkan, yaitu Islam, komunisme dan kapitalisme, maka dapat dijumpai bahwa dalam sistem ekonominya—Islam—yang berkenaan dengan hak milik pribadi misalnya ada hubungan yang erat dengan konsep kemasyarakatannya. Sistem kapitalis didirikan diatas konsep bahwa individu adalah suatu makhluk suci yang hak-haknya tidak boleh diganggu gugat oleh masyarakat atau tidak boleh dihalang-halangi kebebasannya. Oleh karena itu, dalam sistem kapitalisme ini milik pribadi diizinkan tanpa ada pembatasan apapun. Sebaliknya sistem komunisme mendasarkan konsepnya atas landasan bahwa masyarakat itu adalah pokok yang terpenting sehingga individu dengan sendirinya dianggap tidak mempunyai kekuasaan apapun. Oleh karenanya komunisme meletakan seluruh hak milik pribadi berada di dalam kekuasaan Negara sebagai wakil masyarakat dan hak milik individu tidak diakuinya.kedua konsep ini berlainan dengan konsep Islam. Dalam konsep Islam individu serentak mempunyai dua sifat dalam waktu bersamaan, yaitu memiliki sifat sebagai individu yang bebas dan memiliki sifat sebagai salah satu anggota masyarakat. Dalam konsep kemasyarakatannya yang didasarkan atas teori Islam, Al Qur’an tidak memisahkan individu dengan masyarakat dan tidak pula mempertentangkannya. Kedua watak yang dimiliki oleh individu yakni sebagai pribadi yang bebas dan sebagai anggota masyarakat, itu telah diatur oleh syari’at Islam agar memiliki keseimbangan diantara kedua watak tersebut, kepentingan individu terlindungi dan kepentingan masyarakat terpelihara. jadi masyarakat ideal adalah masyarakat yang sikapnya dan tindakanya berada pada posisi dua ekstrim seperti yang tersebut diatas, serta mampu berlaku adil sehingga dapat dijadikan saksi. suatu masyarakat belum dijadikan sebagai saksi sebelum mengikuti Rasulullah atau menjadikan Rasulullah sebagai teladan, karena jika tidak menjadikan Rasulullah sebagai tauladan maka suatu masyarakat tidak disebut sebagai masyarakat pertengahan tetapi masyarakat yang mengikutii salah satu dari dua ekstrim. Ketika suatu masyarakat telah menjadikan Rasullulah sebagai teladanya maka Rasulullah akan menjadi saksi atas masyarakat tersebut. Jadi sangat tidak mungkin Rasulullah akan menjadi saksi atas masyarakat yang berlaku tidak adil. Dalam hal ini apakah rasulullah akan menjadi saksi pada masyarakat yang bersikap dzalim dengan berlaku anarkis?

Kesimpulan

Masyarakat ideal menurut Al Qur’an Surat Al Baqarah: 143 adalah masyarakat harmonis atau masyarakat berkeseimbangan yang bercirikan bersifat moderat dan berdiri ditengah-tengah serta adil. Ummathan wasathan adalah masyarakat moderat yang posisinya berada ditengah agar dilihat oleh semua pihak dari segenap penjuru dan dijadikan sebagai saksi sekaligus menjadi teladan dan panutan bagi yang lain dan pada saat yang sama mereka menjadikan Nabi Muhammad SAW. sebagai patron, teladan dan saksi dan pembenaran semua aktifitasnya.[15]

Referensi

Ahmad Mustofa Al Maraghi, Tafsir Al Maraghi, Pent. Ashori Umar Sitanggal dkk., Semarang: CV Toha Putra, 1987.

Al Imam Abul Fida Ismail Ibnu Kasir Ad Dimasyqi, Tafsir Ibnu Kasir, pent. Bahrun Abu Bakar, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000

Ali Nurdin, Quranic Societi: Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam Al Qur’an, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006.

M. Quraish Shihab, Wawasasn Al Qur’an, Bandung: Penerbit Mizan, 1996.

_________, Tafsir Al Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al Qur’an, Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2000

Sayyid Quthub, Tafsir fi Zhilalil Qur’an (dibawah Naungan Al Qur’an), Penj. As’ad Yasin dkk., Jakarta: Gema Insani, 2000.

MASYARAKAT IDEAL

(dalam Al Qur’an Surah Al Baqarah: 143)

Disusun untuk memenuhi tugas kuliah Studi Qur’an

Dosen Pengampu: Dr. Hamim Ilyas

Oleh:

Nama : Dika Setiawan

NIM : 20101010035

PROGRAN PASCA SARJANA

MAGISTER STUDI ISLAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2011



[1] Yusuf Al Qordhawy, Malamih Al Mujtama’ Al Muslim Alladzi Nansyuduhu (Anatomi Masyarakat Islam), pent. Setiawan Budi Utomo, Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 1999, hal.1.

[2] Ibid.

[3] Sayyid Quthub, Tafsir fi Zhilalil Qur’an (dibawah Naungan Al Qur’an), Penj. As’ad Yasin dkk., Jakarta: Gema Insani, 2000, hal. 158.

[4] M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al Qur’an, Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2000, hal. 325.

[5] Al Imam Abul Fida Ismail Ibnu Kasir Ad Dimasyqi, Tafsir Ibnu Kasir, pent. Bahrun Abu Bakar, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000, hal. 10.

[6] Ibid., hal.13.

[7] Ahmad Mustofa Al Maraghi, Tafsir Al Maraghi, Pent. Ashori Umar Sitanggal dkk., Semarang: CV Toha Putra, 1987.

[8] Sayyid Quthub, Tafsir fi Zhilalil Qur’an (dibawah Naungan Al Qur’an), Penj. As’ad Yasin dkk., Jakarta: Gema Insani, 2000, hal. 158-159.

[9] Ibid.

[10] M. Quraish Shihab, Wawasasn Al Qur’an, Bandung: Penerbit Mizan, 1996, hal. 326.

[11] Ibid., hal. 319.

[12] Ali Nurdin, Quranic Societi: Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam Al Qur’an, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006, hal. 10-11.

[13].Ibid., hal. 104-106.

[14] M. Quraish Shihab, Wawasasn Al Qur’an, Bandung: Penerbit Mizan, 1996, hal. 328.

[15] Ali Nurdin, Quranic Societi: Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam Al Qur’an, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006, hal. 108.

1 komentar:

  1. Pak, saya tertarik dg tulisannya, mohon ijin saya mau copas.. suwun

    http://didik-alkamal.blogspot.com

    BalasHapus