To Be Intelectual Emotional and Spiritual Integrity

Sebuah Impian untuk mambangun lembaga pendidikan yang mampu mensinergikan antara potensi atau kecerdasan intelaktual, emosi dan spiritual yang pada akhirnya akan terbangun umat yang terbaik (khairu ummah)

Minggu, 12 Juni 2011

Metode Kompromi (al Jam’u)

Oleh: Dika Setiawan

Pendahuluan

Telah disepakati oleh para ulama bahwa hadits Nabi SAW. merupakan dasar hukum yang kedua, setelah Al-Qur’an yang dijadikan pegangan atau landasan untuk melaksanakan atau meninggalkan sesuatau. Tidak mudah bagi kita sebagai orang yang awam, dalam masalah ini, untuk menentukan hadis mana saja yang dapat dijadikan pegangan, karena tidak semua hadits yang ada memiliki sanad dan matan yang shahih atau paling tidak hasan. Selain itu juga ada beberapa hadits yang yang kelihatan bertentangan jika dilihat dari lahirnya. Bagi kita tentunya, jika dihadapkan pada persoalan-persoalan yang krusial seperti ini akan mengalami kesulitan kalau tidak mau dikatakan bingungan (jawa). Oleh karena itu para ulama merumuskan tentang masalah ini (hadits yang kelihatan bertentangan) dengan ilmu yang disebut al jam’u (pengkompromian).

Hadits yang pada lahirnya berlawanan dan dapat dikumpulkan dinamakan mukhtaliful hadits[1] dan sebagian ulama menyebutnya dengan mukhalafatul hadits dan pada umumnya para ulama menyebutnya dengan ta’arud,[2] sedang usaha untuk mengumpulkan atau mentaufikan itu dinamakan jama’ atau taufiq. Apabila tidak dapat ditaufiqkan, sedang kedua-duanya sama kuatnya maka hendaklah diperiksa sejarah wurudnya. Jika mungkin diketahui sejarah wurudnya, maka hendaklah kita pergunakan prinsip naskh, yaitu menjadikan hukum yang pertama sudah dimansukhkan (dihapuskan) sedang nash yang kedua menjadi penghapus (nasikh) dan yang dijadikan dasar. Usaha ini dinamakan naskh. Jika tetap tidak memungkinkan diketahui sejarah wurudnya, hendaknya dipergunakan prinsip tarjih yaitu mencari jalan-jalan yang dapat menguatkan salah satunya atas yang lain. Usaha ini dinamakan tarjih. Jika usaha tarjih ini tidak dapat dilakukan hendaklah bertawaquf[3] lebih dulu.[4] Dalam pada itu sebagaian ulama mendahulukan tarjih atas jama’ kemudian naskh dan sebagaian yang lain mendahulukan tarjih kemudian naskh dan jama’. Bagi penulis, lebih cenderung mengutamakan al jam’u terlebih dahualu seperti yang tetah diungkapkan oleh M. Hasbi Ash Shiddiqy diatas, selain itu karena juga ada kaidah yang menyebitkan bahwa adanya dalail bukan untuk ditinggalkan tetapi untuk dilaksanakan. Senada apa yang diungkapkan Syuhudi Ismail yang mengatakan bahwa:

walaupun cara-cara penyelesaian para ulama berbeda-beda, namun tidaklah berarti bahwa hasil penyelesaiannya harus berbeda juga. Dinyatakan demikian karena selain ulama pada umumnya lebih mengutamakan cara al jam’u sepanjang cara itu dapat diterapkan…[5]

Sedang ulama yang pertama kali mempelopori kegiatan penghimpunan atau pengumpulan (al jam’u) adalah Imam asy Syafi’I dengan karyanya yang berjudul Kitab Ikhtilafil Hadis, kemudian diikuti oleh Ibnu Qutaibah, at Tahawi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Jarir dan Ibnul Jauzi.[6]

Pembahasan

Pengertian

Untuk mengetahui pengertian metode kompromi terlebih dahulu akan dibandingkan antara kompromi dengan tarjih dan nasakh. Dalam tarjih dilakukan penetapan untuk mengamalkan salah satu hadits yang kontradiktif dengan tetap membiarkan wujud dari dalil hadits yang lain. Sedang dalam kompromi atau al-jam’u adalah sikap menetapkan untuk mengamalkan kedua dalil karena terdapat dalil lain yang menolak atau menghilangkan adanya kontradiksi tersebut. Menurut Iwadi Al Sayyid, metode kompromi (al-jam’u) adalah mempertemukan atau menyesuaikan antara dua hadits yang kontradiksi untuk mengamalkan isi keduanya. Dalam definisi yang kontradiksi masih bisa ditambah sandaran dari upaya menolak kontradiksi itu, yaitu mempertemukan antara dua hadits yang kontradiksi dengan bersandar kepada dalil yang dapat menolak kontradiksi dalam rangka mengamalkan keduanya. Definisi ini merupakan sebuah sandaran kaidah ushuliyah yang menyatakan bahwa “pengamalan kedua dalill lebih utama dari pada mengabaikan salah satunya.” [7]

Sementara itu Hasbi Ash Shiddieqy menggunakan kata jama’ atau taufiq yang diartikan mengumpulkan dua hadits yang bertentangan. Apabila kelihatan pertentangan antara dua hadits, maka hendaklah kita berusaha untuk mengumpulkan atau mentaufiqkan antara keduanya. Imam An Nawawi mengatakan, ikhtilaf hadits ialah datangnya dua hadits yang berlawanan maknanya pada lahirnya lalu ditaufiqkan (dikumpulkan) antara keduanya atau ditarjihkan salah satu diantara kedua hadits yang bertentangan.[8] Sedangkan al Qarafi (dalam Syuhudi Ismail, 1992) mengartikan al jam’u sebagai mengkompromikan hadis-hadis yang tampak bertentangan untuk diamalkan dengan melihat seginya masing-masing.[9] Dari sekian definisi tentang al jam’u dapat disimpulkan bahwa al jam’u adalah usaha yang dialakukan guna mengkompromikan antara dua hadis dan yang secara dhahir tampak bertentangan yang kemudian kedua hadis tersebut diamalkan secara bersama-sama tanpa meniadakan salah satunya dengan melihat seginya masing-masing.

Selain kata al jam’u kita mengenal kata Thariqatul jam’i. Dalam ilmu hadits diartikan sebagai hadits-hadits yang kelihatannya berlawanan dikumpulkan lalu didudukan satu persatu sehingga semua haditsnya terpakai.[10]

Macam-macam al Jam'u:[11]

1. Mentakhshis 'Am-nya

Dalam kitab "al-Minhaj" dan syarahnya, menurut madzab Syafi'iyah, apabila terjadi pertentangan antara lafadz 'am dan khash, maka ada dua kemungkinan. Pertama, mungkin salah satunya lebih khash (khusus) daripada lainnya secara mutlak. Kedua, mungkin ke-'am-annya dan ke-khash-annya hanya terletak pada satu sisi saja. Apabila kondisi pertama terjadi maka lafadz khash lebih diunggulkan dan diamalkan daripada lafad 'am-nya. Karena lafadz khash masih dapat merealisasikan apa yang terkandung dalam lafadz 'am. Mengamalkan lafadz khash berarti mengamalkan ketentuan kekhususannya dan mengamalkan lafadz 'am berarti mengamalkan ketentuan lain di luar ketentuan yang terkandung dalam lafadz khusus. Apabila kondisi kedua yang terjadi dan terdapat sesuatu yang dapat diunggulkan, maka itulah yang diamalkan. Namun apabila tidak terdapat sesuatu yang dapat diunggulkan, maka seorang mujtahid dapat memilih mana diantara keduanya yang diamalkan. Keduanya tidak dapat diamalkan secara bersamaan. Contoh, hadis nabi:

"Barangsiapa yang lupa melaksanakan shalat, maka shalatlah di kala ingat" (HR. Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik) Bersamaan dengan larangan Rasulullah SAW, shalat di waktu karahah (Makruh).[12] Apabila ditinjau hadis pertama bersifat umum. Namun bila ditinjau dari segi shalatnya, hadis ini bersifat khusus, karena menunjuk pada sebagian shalat saja yaitu shalat qadha' Apabila ditinjau dari segi shalatnya, maka hadis kedua bersifat umum. Namun apabila ditinjau dari segi waktunya, maka hadis kedua bersifat khusus, karena menunjuk pada sebagian waktu saja, yaitu waktu makruh. Dari sinilah madzab Syafi'i mengunggulkan hadis pertama. Sehingga mereka memperbolehkan mengqadha' shalat yang tertinggal pada waktu karahah.

2. Mentaqyid muthlaq-nya

Mayoritas ulama berpendapat bahwa lafadz muthlaq dapat dipahami secara muqayyad. Artinya, lafadz muthlaq yang terdapat pada salah satu hadis yang bertentangan harus dipahami secara muqayyad berdasarkan hadits satunya. Sebagaimana contoh hadis yang artinya: Dari Nafi' dari Umar ra. Bahwasanya Rasulullah SAW. Mewajibkan zakat fitri sebanyak satu sha' kurma atau gandum kepada setiap muslim yang merdeka, budak, laki-laki maupun perempuan. Bukhari juga meriwayatkan hadits lain tanpa menyebutkan lafadz: "setiap muslim". Turmudzi berkata, Lebih dari satu rawi yang meriwayatkan hadis tersebut dengan tanpa menyebut lafadz setiap muslim.

Dalam kedua hadis tersebut terdapat obyek hukum yang sama yaitu zakat fitri, dan ketentuan hukum yang sama yaitu wajibnya zakat fitri. Mutlaq dan muqayyadnya terdapat pada sebab hukumnya, yaitu seseorang yang ditanggung wajib zakatnya (muzakki). Pada hadits pertama, wajib zakat dibatasi dengan sifat Islam (muslim), sedang hadis kedua, wajib zakat tidak dibatasi dengan sifat tersebut. Artinya, lafadz mutlaq yang terdapat pada hadits kedua harus dipahami secara muqayyad berdasarkan hadis pertama. Sehingga zakat fitri tidak diwajibkan kecuali pada orang muslim yang menjadi tanggungan wajib zakat. Selanjutnya ulama berperndapat bahwa zakat tidak diwajibkan kepada selain orang Islam. Begitu pula, budak (orang yang menjadi tanggungan) yang non Islam. juga pada zaman sahabat dan memang tidak menyeluruh untuk semua hadis, tetapi bersifat parsial yang dimuat secara berserak bersama dengan pendapat-pendapat ulama sesudah zaman sahabat Nabi dalam berbagai kitab, khususnya kritik ataupun syarah hadis.[13]

Sayarat-syarat kompromi[14]

Kompromi antara dua hadits yang kelihatannya kontradiksi harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Kedua hadits yang kontradiksi harus bernilai shahih, sehingga tidak mungkin hadits dha’if berhadapan dengan hadits shahih, karena yang kuat tidak akan dipengaruhi oleh adanya penentangan hadits dha’if.

2. Ta’arud (kontradiksi) itu tidak dalam bentuk bertolak belakang (tanaqulid) dimana tidak memungkinkan dilakukan kompromi antara keduanya.

3. Kompromi itu tidak menyebabkan batalnya salah satu hadits yang kontradiksi .

4. Kompromi itu harus memenuhi ketentuan adanya persesuaia dengan uslub (gaya bahasa) bahasa Arab dan tujuan syari’at tanpa ada unsur pemaksaan.

Kaidah kompromi hadits[15]

1. Hadits itu berasal dari Nabi SAW. dalam bentuk umum, sehingga datang dari Nabi penunjukan kepada makna yang sifatnya khusus.

2. Membawa perbedaan (ikhtilaf) hadits itu kepada kebolehan dilakukannya perkara itu (ibahah al amr). Imam As Syafi’i menyatakan bahwa terdapat hadits yang berbeda tentang perbuatan Nabi dari satu sisi tapi dari sisi yang lain kedua hadits tersebut (yang berbeda) dibolehkan untuk dilakukan.

3. Megkompromikan antara yang majmul, mufassar, ‘am dan khas. Imam As Syafi’i berkata bahwa terdapat hadits-hadits Nabi SAW. yang dating secara global dan yang lainnya dating secara mufassar (rinci). Jika informasi hadits yang datang dari Nabi secara global itu dipandang sebagai bersifat ‘am (umum) maka ia akan diriwayatkan secara berbeda mufassar (rinci). Dalam persoaalan seperti ini tentunya tidak dapat dipandang sebagai ikhtilaf (berbeda), tetapi merupan suatu bentuk pendeskripsian suatu objek dengan keluasan bahasa Arab. Hal itu merupakan pembicaraansesuatu secara umum, namun dikehendaki makna khusus. Hal ini seperti ini dipakai dan berlaku secara bersama-sama.

Contoh kompromi hadits yang kontradiksi yaitu:

Buang hajat dengan menghadap kiblat

Pertama

Dari Abu Ayyub bahwa Nabi SAW. telah bersabda, “ apabila kamu sekalian membuang hajat, maka janganlah menghadap ke kiblat dan jangan membelakanginya, baik buang air kecil maupun buang air besar…”[16]

Kedua

Abdullah bin ‘Umar berkata, “pada suatu hari, sungguh saya telah naik (masuk) kerumah kami (tempat tinggal Hafsah isteri Nabi) maka saya melihat Nabi SAW. di atas dua batang kayu (tempat jongkok buang hajat) untuk buang hajat dengan menghadap kearah Bait al Maqdis.[17]

Menurut Ibn Qutaibah, dalam kasus hadits seprti ini bisa terjadi nasakh karena yang satu berisi larangan dan yang lainnya berisi perintah. Tetapi ia sendiri tidak berpendapat adanya nasakh dalam hadits seperti ini, karena masing-masing hadis ini mempunyai tempat sendiri-sendiri. Tempat yang tidak diperbolehkan buang hajat dengan menghadap kiblat adalah tempat-tempat terbuka tang tidak ada tanaman dan di padang pasir. Dahulu ketika orang-orang berpergian, lalu singgah di suatu tempat untuk melaksanakan shalat, maka sebagaian menghadap kiblat dalam rangka shalat dan sebagaian yang lain menghadap kiblat sambil buang hajat. Oleh sebab itu Nabi melarang mereka menghadap kiblat sewaktu buang hajat, sebagai penghormatan kepada kiblat dan penyucian terhadap shalat.

Sebagaian orang beranggapan bahwa membuang hajat menghadap kiblat yang dilakukan di dalam rumah-rumah dan tempat-tempat khusus untuk buang hajat seprti WC dan tempat-tempat lain yang khsus diperuntukan buang hajat, dilarang atau makruh. Oleh karena itu Nabi memberitahukan untuk menyingkir kepada mereka dan mengambil tempat sepi dan kosong untuk buang hajat dan disana boleh menghadap kiblat. Nabi bermaksud memberi pengajaran kepada mereka bahwa buang hajat di tempat-tempat khusus itu tidak dilarang dengan menghadap kiblat, seperti di rumah-rumah, sumur-sumur galian untuk buang hajat yang kotoranya tertutup, juga di tempat-tempat yang khusus dipersiapkan untuk buang hajat, boleh dipakai unutk shalat.

Kesimpulan

Dari uraian yang telah dipaparkan, dapat diambil kesimpulan bahwa al jam’u merupakan suatu metode atau salah satu metode (selain nasakh, tarjih dan tauqif) untuk memecahkan persoalan yang terkait dengan hadits yang kelihatan bertentangan untuk bersama–sama diamalkan tanpa meniadakan salah satunya sesuai dengan seginya masing-masing. Hadits yang kelihatan bertentangan itu harus sama-sama memiliki kualitas hadits yang shahih dan pertentangan yang terjadi tidak sampai pada taraf tanaqulid (bertolak belakang), jika sampai bertolak belakang, maka tidak bisa dikompromikan dan diamalkan salah satunya (nasikh) atau mencarikan dalil-dalil atau hadits-hadits yang lain untuk menguatkan salah satunya (tarjih) jika tetap belum bisa maka menunggu sampai ada petunjuk atau dalil lain yang dapat menyelesaikannya atau menjernihkannya (tauqif).

Wallahu a’lam Bis Showab, Washalallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin Wa ‘ala ‘alihi Wa Shahbihi Wassalam

Referensi

M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Dirayah Hadits, Jilid II, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1994.

Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1994.

___________, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1992.

Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Hadis, Jakarta: Bumi Aksara,1997

www.scribd.com/doc/32717750/Hadis-Yang-Tampak-Bertentangan.

Zuhad, Fenomena Kontradiksi Hadis dan Metode Penyelesaianya, Semarang: Rasail Media Group, 2010.



[1] Mukhtaliful hadits yaitu ilmu yang menurut lahirnya saling bertentangan karena adanya kemungkinan dapat dikompromikan baik dengan cara mentaqyid hadits yang mutlak atau mentaqsis yang umum atau dengan cara membawanya kepada beberapa kejadian yang relevan dengan hadits dan lain-lain. Sedang menurut Ajjaj al Khatib yaitu ilmu yang membahas hadits yang menurut lahirnya saling bertentangan kemudian untuk menghilangkan pertentangan itu atau mengkompromikan keduanya. Sebagaimana halnya membahas hadits-hadits yang sukar dipahami atau diambil isinya serta untuk menghilangkan kesukaran dan menjelaskan hakikatnya. Beberapa nama yang dinamakan ahli hadits untuk membahas persoalan ini yaitu, ilmu muskilul hadits, ilmu ta’wilul hadits dan ilmu talfiqul hadits. Adapaun kitab-kitab yang membahas persoalan ini antara lain:

1. Ta’wiluu Mukhtaliful hadits, karya Al Hafidz Abdullah ibn Muslim bin Kutaibah al Dainuri (13-76 H)

2. Musykilul Atsar, karya Imam Abu Ja’far Ahmad ibn Muhamad at Thahawi (239-321 H)

3. Usykilul Hadits wa Bayanuhy, karya Abu Bakar Muhammad ibn Al Hasan al Anshari al Ashihani (wafat tahun 406 H)

4. Mukhtaliful Hadits, karya Imam asy Syafi’i. (Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Hadis, Jakarta: Bumi Aksara,1997, hal. 256)

[2] Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1992, hal.142.

[3] Dalam Syuhudi Ismail (1994) digunakan kata at tauqif yaitu “menunggu” sampai ada petunjuk atau dalil lain yang dapat menjernihkan dan menyelesaikan pertentangan, lih. Hal. 73.

[4] M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Dirayah Hadits, Jilid II, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1994, hal. 275.

[5] Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstuan dan Kontekstual, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1994, hal. 74.

[6] ___________, Metodologi Penelitian Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1992, hal.142

[7] Zuhad, Fenomena Kontradiksi Hadis dan Metode Penyelesaianya, Semarang: Rasail Media Group, 2010, hal. 9-10.

[8] M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Dirayah Hadits, Jilid II, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1994, hal. 274.

[9] Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1992, hal.143

[10] M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Dirayah Hadits, Jilid II, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1994, hal. 274.

[11] www.scribd.com/doc/32717750/Hadis-Yang-Tampak-Bertentangan.

[12] Dari Uqbah ibn Amr, ia berkata: Rasulullah SAW melarang kita melakukan shalat atau mengubur jenazah dalam tiga waktu: ketika matahari terbit hingga agak tinggi, ketika matahari mencapai titik kulminasi hingga tergelincir dan matahari terbenam". (HR. Muslim, Abu Dawud, Nasa'i dan Turmudzi)

[13] Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, akarta: PT Bulan Bintang, 1994 hal. 72.

[14] Zuhad, Fenomena Kontradiksi Hadis dan Metode Penyelesaianya, Semarang: Rasail Media Group, 2010, hal. 10.

[15] Ibid., hal. 10s

[16] Shahih Bukhari, Juz I, h.40, Shahih Muslim, juz I, h. 224 (Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1994, hal.75.)

[17] Shahih Bukhari, Juz I, h.40, Shahih Muslim, juz I, h. 225, ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar